Rabu, 27 Agustus 2014

Sebuah Pengantar-- Mengenal Baitul Mal

Mengenal Baitul Mal Dalam Islam
Islam sebagai sebuah ideologi memiliki seperangkat aturan tentang pendapatan dan pengeluaran negara, atau yang sekarang kita kenal dengan APBN. Dalam negara modern yang menerapkan demokrasi, aturan APBN dicanangkan oleh menteri dan disetujui presiden dan dirumuskan setiap satu tahun sekali. Bentuk rumusannya berupa pasal-pasal. Antar satu pasal dengan pasal yang lain saling terkait. Tiap tahun, besar anggaran bisa berubah tergantung bagaimana kondisi negara itu, faktor ketahanan ekonomi, kestabilan politik dan iklim investasi sangat mempengaruhi suatu negara dalam mencangkan APBN nya.
Bagaimana kemudian Islam memandang masalah ini? Akan samakah dengan sistem demokrasi sekarang? Jawabannya tentu sangat gamblang. Bahwa APBN Islam tidak sama dengan APBN negara Demokrasi. Beberapa hal yang menjadi dasar pijakan pemikiran ini adalah sebagai berikut:
-          Pos pendapatan dan pengeluaran negara adalah Baitul Mal. Rasulullah SW dan para Sahabat ridwanulLah alaiyhim telah mencontohkan hal ini. Dimana Baitul Mal adalah pusat keuangan negara. Ia tidak dikontrol oleh wali atau amil. Baitul Mal adalah lembaga negara khusus yang menangani urusan harta langsung di bawah manajemen Khalifah. Sebagaimana independent nya Khilafah dalam hal jihad (lembaga Amirul Jihad) dan dalam hal peradilan (lembaga Al Qadha). Beberapa fragmen yang menjadi dalilnya adalah af’al RasululLah SAW sendiri. Beliaulah yang mengepalai pembagian harta dari Bahrain ketika harta itu baru datang. Rasul SAW memerintahkan agar harta itu dihamparkan di masjid dan kemudian RasululLah SAW membagi-bagiakannya. Para Khalifah Rasyidun setelahnya juga melakukan hal yang sama. Ini terlihat dari perbuatan Abu Bakar yang membagi-bagikan harta Baitul Mal kepada para sahabat ketika harta juga datan gdari Bahrain. Di antara sahabat ada yang mendapatkan tiga bagian dari harta itu sebagaiman yang sudah dijanjikan RasululLah SAW semasa hidupnya.
-          Dalam islam, pos pendapatan negara dan pos pegeluarannya sudah ditetapkan secara syari dalam nash. Jadi tidak memerlukan penetapan lagi dalam rapat RAPBN sebagaimana yang bisa kita temukan dalam sistem demokrasi di negara manapun. Beberapa pos pengeluaran dan pendapatan negara yang disimpan dalam baitul mal dirinci sebagai berikut:
o   Pos Pemasukan Baitul Mal:
§  Fai
§  Ghanimah
§  Anfal
§  Kharaj
§  Jizyah
§  Pemasukan negara dari hak milik umum kaum Muslimin
§  Pemasukan negara dari hak milik negara
§  Usyur
§  Khumus
§  Rikaz
§  Tambang
§  Zakat
o   Pos Pengeluaran Baitul Mal:
§  Pengeluaran harta zakat
·         Zakat bisa berupa: zakat fitrah, zakat mal (harta milik, modal perniagaan), zakat hasil peternakan, zakat hasil pertanian. Adapun pengeluarannya didistribusikan pada 8 asnaf yang sudah tercantum di dalam nash QS At Taubah:60. Yakni, fakir, miskin, Riqab, gharim, ibnu Sabil, amil, mujahidin, mualaf. Harta tersebut tidak boleh didistribusikan kepada 8 asnaf ini. Penarikan harta ini dari kaum muslimin hukumnya fardu ain. Baik dalam keadaan negara membutuhkan dana ataupun tidak harta zakat ini tetap harus ditarik dari kalangan kaum muslimin. Untuk nishab dan kadar zakatnya para Ulama fiqh sudah menjelaskannya secara detail. Harta ini juga tidak boleh disalurkan kepada warga Khilafah yang non-muslim. Adapun bentuk penyalurannya, adalah dilihat terlebih dahulu, apakah ada salah satu atau lebih dari 8 asnaf itu yang memiliki hak untuk disalurkan harta atasnya. Jika tidak didapati satupun dari 8 asnaf tersebut, Khalifah tidak boleh mendistribusikannya pada selain dari golongan tersebut, Khalifah juga tidak boleh menginvestasikan dalam bisnis tertentu. Ia tetap menjadi hak 8 asnaf tersebut sampai kondisinya ditemukan, jika tidak ditemukan, harta tersebut tetap disimpan di dalam Baitul Mal negara Khilafah. Begitulah ketetapan Syari dalam masalah tersebut
§  Pengeluaran harta baitul mal untuk penyelenggaraan negara. Khilafah islam juga tengah menganggarkan gaji para pegawai negara. Seperti jasa guru, mubaligh, ustadz, dokter, cleaning servis, satpam, militer, sopir angkot dan lain sebagainya.
§  Pembelanjaan Baitul Mal untuk kemaslahatan umat. Misalnya pembangunan rumah sakit, sekolah, perusahaan negara danlain sebagainya
§  Pembelanjaan baitul Mal untuk melaksanakan kewajiba syarie, misalnya ada perintah jihad, maka segala logistik dan peraltan perang sudah ditanggung oleh Baitul Mal
§  Pembelanjaan Baitul Mal untuk menangani hal-hal yang menimpa kaum muslimin dan warga Khilafah. Misal terjadi bencana, paceklik dll

Itulah sedikit gambaran APBN Khilafah yang didalamnya baitul Mal berperan sebagai lembaga yang menjadi pos penerimaan dan pengeluarannya. Walahu ‘alam [].

Kamis, 29 Mei 2014

Catatan Seorang Pejuang


Assalamualaiykum wrwb. Islam yang Allah SWT turunkan kepada kita merupakan agama sekaligus mabda. Ia adalah pedoman dari umat Islam di seluruh dunia. Karena sifatnya yang menyeluruh inilah, Islam menjadi basis dari segenap pemecah permasalahan yang dialami manusia, mulai dari permasalahan yang menyangkut diri pribadi, perkara ibadah dan hubungan antar manusia dalam kehidupan sosial masyarakat.
Menariknya, bagi para pengemban dakwah tegaknya Khilafah sebagai sebuah institusi resmi negara, ada hal spesial bagaimana mereka memandang Islam. Sebagai sebuah refleski, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah perjalanan hidup seorang murabi/musyrif. Sebah kisah, dimulai dari sisi dunia yang hitam. Karena hitamnya kepribadian, taqarrub ilaLah menjdai hal yang menyesatkan, ia bak candu dalam akal. Dunia hanyalah dunia, tidak ada istilah Surga dan Neraka, pahala atau siksa. Hingga suatu hari, tibalah hidayah itu dengan penuh cinta. Bertemula h ia dengan sebuah jamaah dakwah yang memahamkan dirinya tentang apa hakikat hidup sesungguhnya. Mengajarkan tentang apa sesungguhnya tujuan hidup kita, dan membimbing dia ke arah manusia pilihan. Mengajari menjadi seorang pemimpinnya para pemimpin. Bagaimana ini semua bisa terjadi?
Bagi Allah SWT, mengapa tidak. Dalam fragmen yang lain, perlu kita ambil beberapa ibrah yang semoga bisa menjadi pelejit kerinduan kita akan nabiyuLlah Muhammad SAW dan menambah kecintaan kita pada Allah SWT.
Jika hari ini banyak Muslim yang ga tau bahaya demokrasi dan sistem ekonomi liberal, itu wajar terjadi. Tidak usah disalahkan mereka. Karena sudah menjadi pemahaman bersama kalau orang Islam memang begitu keadaannya: bodoh dan tertindas, yang bodoh malas belajar, yang tertindas tidak memiliki waktu banyak untuk belajar. Lengkap dan sempurna penderitaan kita . Bagaimana bisa seorang preman, playbouy kelas kakap, atau bahkan ahli maksiat berubah total menjadi pengemban dakwah? Tidak usah galau apalagi pusing , banyak contohnya kok, kalau kita mau sebenarnya berubah dan perubahan itu hal yang sangat mudah terjadi pada siapapun, termasuk perubahan mendasar diterapkannya Islam pada negeri-negeri Islam yang kini terjajah dalam perangkap demokrasi.
Bukankah Allah SWT sudah berfirman dalam kalam yang sempurna, surah Al ra’du ayat 11 :
          
<< ...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaaan suatu kaum hingga mereka meruba hapa yang ada dalam diri mereka....>>
Sudah cukup gamblang toh tentang rumus mendasar perubahan ini? Yang penting kitanya aja yang mau berubah. Lantas, pemahaman Islam kaffah yang terintegrasi dalam sistem Khilafah adalah bukan hal mudah menjadi pemahaman umum di tengah masyarakat. Terlebih di masyarakat sekuler yang sudah terlanjur cinta dengan kondisi sperti ini. Merubah pemahaman seseorang memang tidak mudah, namun juga bukan berati tidak mungkin.
Alhamdulilah, hari demi hari berlalu dengan pengalaman mengesankan sebagai seorang muslin yang sekarang memahami apa hakikat hidupnya. Minggu berganti bulan dan tahun pun sudah berganti. Perhalqohan semakin menjadi forum yang luar biasa dan merubah segalanya. Ia banyak menemukan sisi Islam yang selama ini tertinggal dari pemahamannya. Ia akhirnya sadar. Sekarang ada dimana dan harus berbuat apa. Untuk Islam dan Rasul serta Allah dan bayangan wajah-wajah saudara muslim yang lain , di belahan bumi yang lain.
Hingga akhirnya, kebencian terhadap demokrasi, kapitalisme atau sekularisme, tidak hanya menjadi buah pikiran yang menentramkan akal, tidak menjadi kekayaan intelektual yang senantiasa jagoan di tengah forum. Kini, ia dituntut untuk menjadi seorang guru kehidupan yang baik dan bijak. Kebencian terhaap demokrasi tidak selamanya menjadi topik paling menyemangatkan dalam kehidupannya. Justeru keanggunan dan kerendahan hatinyalah yang akan membuat orang lain takhluk di bawah binaannya. Kebencian terhadap demokrasi tidak cukup sekadar retorikan lidah yang membakar semangat audein.
Kejernihan batin dan mapannya pikiran untuk mengajak umat memahami Islam, mau menerapkan dan memperjuangkannya adalah harga mati sebuah perjuangan pengakkan Khilafah. Artinya, hal ini menegaskan kepada kita semua, bahwa sebuah pergerakan adalah nilai kompleks sebuah jati diri seorang Muslim, sebuah karakter yang unggul dalam pikiran, sholeh dalam akhlak dan senantiasa dekat dengan Tuhannya. Siapa pun dia, akan mengalamai masa-masa getir perjuangan, saat tawarannya ditolak oleh mad’u, saat ia kalap tidak bisa mengimbangi lawan bicara, saat ia dapat amanah menjadi pengisi, maka dari semua itu, kuncinya hanya satu. Kita harus terus bergulir bersama roda dakwah yang telah menunjuki kita pada jalan kebenaran dan keselamatan.
Lupakah kita? Bahwa dahulu kita adalah miniatur perdaban jahiliyah? (ga boleh protes) mengapa demikian? Karena kita senantiasa bersinggungan dengan hal ini, dari masa kanak-kanak kita, secara umum  sekolah di sekolahannya negara sekuler, dari pekerjaan kita dan semua ahl yang ada di depan kita semuanya bercitarasa sekulerisme. Kita ini sedang ditolong oleh jamaah dakwah yang luar biasa, yang mana memerlukan daya upaya yang tidak sedikit, dari pkiran, waktu, kesenangan pribadi, harta, bahkan nyawa sekalipun. Adakah kita bertahan jika kita seorang yang pengecut dan munafik? Allahlah yang maha tahu segalanya
Lupakah kita dahulu? Kita adalah seorang psikopat yang senatiasa berjalan di atas rel kerta api dimana kereta dengan laju super kencang berada di hadapan kita?  (kereta api=kebinasaan, karena sebuah kemaksiatan). Dan sang penolong datang dengan cepat, dia menarik tangan kita dengan sangat keras hingga kita terpelanting keluar dari jalur rel? Dan ketika gejala itu muncul lagi, kita dengan bangganya berjalan dia tas rel kereta api yang tengah dilalui kereta dengan kencangnya maka ia kembali datang dengan tarikan yang lebih keras lagi? Dia adalah jamaah dakwah kawan, dialah yang menyelamatkan kita dari kejahiliyahan dan kemaksiatan kita.
Allahlah yang maha tahu segala isi hati. Maka, setelah ini, ikrar kita akan semakin teguh bahwa kita adalah para pengemban dakwah dan membawa risalahnya untuk seluruh dunia. Wahai saudaraku, berjuanglah lebih dashyat lagi dalam dakwah syariah dan Khilafah. Allah senantiasa dalam dekapan kita. la bersama kita, mencintai kita, nabi SAW mencintai kita dan para sahabat juga mencintai kita, maka percayalah. Pasti ada jalan dalam dakwah yang senantiasa banyak cobaan ini.
saudaramu


Senin, 31 Maret 2014

RUUD Khilafah Pasal 20 – Kewajiban Mengoreksi Penguasa


Pengantar
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan syariah Islam, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, dan berjihad di jalan Allah.
Khilafah bukan jabatan ilâhiyah, seperti nubuwah (kenabian) dan risâlah (kerasulan)—yang dipilih oleh Allah untuk menyampaikan syariah-Nya tanpa memandang bagaimana syariah tersebut diterapkan. Khilafah tidak lain adalah jabatan basyariyah (dipilih oleh manusia) untuk menerapkan syariah Allah SWT kepada seluruh manusia (an-Nabhanai, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II/103). Karena ini pilihan manusia dan yang dipilih (penguasanya) juga manusia, maka dalam perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadi kezaliman dan kesalahan.
Lalu bagaiman mengatasi kemungkinan terjadinya kezaliman dan kesalahan yang dilakukan oleh penguasa?Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 20, yakni tentang kewajiban mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm), yang berbunyi: Mengoreksi penguasa merupakan salah satu hak kaum Muslim dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Adapun bagi warga negara non-Muslim diberi hak untuk mengadukan kezaliman penguasa dan kesalahan penguasa dalam menerapkan hukum-hukum Islam terhadap mereka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 100).

Hukum Mengoreksi Penguasa
Tugas utama seorang penguasa setelah ia diangkat oleh umat (rakyat) adalah mengurusi setiap urusan umat (rakyat)-nya. Sebab, ia diangkat memang untuk tugas ini. Karena itu, jika ia abai atau lengah dengan tugas dan kewajibannya, maka ia wajib dikoreksi. Status hukum mengoreksi penguasa adalah fardhu kifayah (An-Nabhani,Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 100; Al-Mas’ari, Muhâsabah al-Hukkâm, hlm. 3).
Bahkan menurut Ibnu Taimiyah, fardhu kifayah (kewajiban bersama) ini bisa berubah menjadi fardhu ‘ain(kewajiban setiap orang), yaitu bagi orang yang mampu untuk melakukan dan mengubahnya. Sebab, manâth(tempat bergantung) kewajiban ini adalah al-qudrah (kemampuan) sehingga setiap manusia wajib melakukannya sesuai kemampuan (Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fi al-Islâm, hlm. 11).
Dalil kewajiban melakukan kontrol dan koreksi atas penguasa ini, di antaranya adalah hadis riwayat Muslim dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ

Nanti akan ada para pemimpin. Kemudian kalian mengetahui dan kalian mengingkari. Siapa saja yang mengetahui (kemungkaran penguasa dan mengubahnya) maka ia bebas dari dosa. Siapa saja yang mengingkari (kemungkaran itu dengan hatinya) maka ia selamat. Namun, siapa saja yang ridha dan mengikuti (kemungkaran itu maka ia berdosa).”

Memang, sabda Rasulullah saw. ini berupa kalam khabar (berita), namun maksudnya adalah kalam insyâ’(perintah). Perintah dalam hal ini merupakan perintah yang bersifat tegas, agar melakukan muhâsabah (kontrol dan koreksi) terhadap para penguasa dan mengubah perilakunya jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 149).
Pengingkaran dan pengubahan itu harus dilakukan dengan lisan saja, bukan dengan kekerasan dan mengangkat senjata. Sebab, begitulah yang dipahami dari dalil-dalil yang menjadi dasar kewajiban melakukan kontrol dan koreksi terhadap penguasa. Apalagi, terdapat hadis yang justru mengharamkan aktivitas mengangkat senjata terhadap penguasa kecuali dalam satu kondisi, yaitu ketika terjadi kekufuran secara nyata (kufr[an] bawâh[an]) yang dilakukan oleh penguasa (Mahmud, Ad-Dakwah ila al-Islâm, hlm. 60).
Dengan demikian, muhâsabah al-hukkâm (mengontrol dan mengoreksi para penguasa) merupakan hak di antara hak-hak kaum Muslim sekaligus kewajiban yang status hukumnya adalah fardhu kifayah namun bisa berubah menjadi fardhu ‘ain bagi yang memiliki kemampuan.
Perlu diingat, bahwa kewajiban mengoreksi penguasa ini sama sekali tidak bertentangan dengan kewajiban menaati penguasa (Al-Mas’ari, Muhâsabatul Hukkâm, hlm. 4). Sebab, kewajiban menaati penguasa itu hanya dalam hal yang baik saja. Karena itu, jika penguasa menyimpang dari ketentuan syariah maka tidak ada ketaatan baginya. Justru umat bermaksiat kepada Allah jika menaati penguasa yang menyimpang. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللّهِ. إنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan apapun dalam hal bermaksiat pada Allah. Ketaatan itu hanya dalam hal yang baik saja (HR Muslim).

Hak Non-Muslim Menyampaikan Syakwâ
Non-Muslim tidak berhak untuk melakukan koreksi terhadap penguasa. Sebab, dilarang sama sekali—individu, kelompok atau partai—melakukan koreksi berdasarkan akidah selain akidah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8). Akidah non-Muslim bukan akidah Islam sehingga mereka tidak berhak melakukan koreksi terhadap penguasa dengan akidahnya itu.
Namun, non-Muslim diberi hak menyampaikan syakwâ (pengaduan) atas ketidakadilan dan pelanggaran penguasa terhadap hak-hak dasarnya, seperti hak mendapatkan keadilan, kebebasan menjalankan keyakinan, jaminan keamanan dan jaminan sosial (Ath-Thayyar, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 139-144; Al-Ayid, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm, hlm. 96). Jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, maka non-Muslim berhak untuk mengadukannya. Sebab, dalam hal ini terdapat larangan berbuat zalim secara mutlak, baik terhadap kaum Muslim maupun non-Muslim, serta adanya larangan menyakiti warga negara non-Muslim (ahludz dzimmah). Rasulullah saw. bersabda:
أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِداً، أَوْ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أخَذَ مِنْهُ شَيْئاً بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ، فَأنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ketahuilah bahwa siapa saja yang menzalimi mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian), mencela dia, membebani di atas kemampuannya, atau mengambil sesuatu dari dia dengan paksa, maka saya yang akan mengalahkan dia dengan hujjah pada hari kiamat (HR Abu Dawud).

Jika menyakiti mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian) saja dilarang keras, apalagi menyakiti non-Muslim yang telah menjadi warga negara. Karena itu, jika terjadi kezaliman atas warga negara non-Muslim (ahludz dzimmah), atau ia mendapat perlakuan kurang baik dari penguasa, maka ia berhak menyampaikan syakwâ (pengaduan), agar tidak terjadi lagi kezaliman terhadap dirinya, dan pelakunya mendapatkan sanksi atas apa yang telah dia perbuat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 101).
Dalam hal ini, apapun bentuk syakwâ (pengaduan) yang disampaikan non-Muslim harus didengar, baik ia sebagai pihak yang benar maupun salah. Abu Bakar ra., misalnya, pernah menempeleng dengan keras wajah orang Yahudi bernama Finhash, yang mengatakan perkataan penghinaan terhadap Allah SWT, bahwa dia sama sekali tidak butuh Allah, sebab dirinya kaya, sementara Allah miskin karena masih mencari pinjaman harta. Dalih perkataan lancang Finhash ini adalah firman Allah SWT (yang artinya): Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak (TQS al-Baqarah [2]: 245).
Kemudian Finhash mengadukan Abu Bakar ra. kepada Rasulullah saw. Rasulullah pun mendengarkan syakwâ(pengaduan) Finhash ini. Namun, di depan Rasulullah saw., Finhash laknatullâh ‘alaih membantah bahwa ia telah mengatakan perkataan penghinaan terhadap Allah.
Semua tahu, bahwa Abu Bakar adalah mu’âwin (pembantu) Rasulullah saw. Artinya, Abu Bakar ra. adalah seorang penguasa, sementara Finhash adalah seorang mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian). Namun demikian, Rasululah saw. sangat memperhatikan dan mendengarkan pengaduan Yahudi itu tentang Abu Bakar sekali pun ia sebagai pihak yang salah. Jika syakwâ (pengaduan) mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian) saja didengar dan diperhatian, tentu syakwâ (pengaduan) yang disampaikan warga negara non-Muslim harus lebih didengar dan diperhatian (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 102).

Kesalahan Penerapan Hukum Islam
Terkait kasus kesalahan penerapan hukum Islam, maka setiap warga negara, Muslim maupun non-Muslim berhak menyampaikan syakwâ (pengaduan). Sehubungan dengan ini, sebagian kaum Muslim telah mengadukan Muadz bin Jabal ra. kepada Rasulullah saw. karena ia memanjangkan bacaan ketika shalat. Imam al-Bukhari menuturkan riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. yang mengatakan: Seorang laki-laki pergi menuju dua pancuran air. Hari sudah mulai gelap. Lalu ia mendapati Muadz sedang shalat. Ia pun meninggalkan pancuran air itu dan pergi menuju Muadz yang sedang shalat. Muadz membaca surah al-Baqarah atau an-Nisa’. Kemudian laki-laki itu pergi—ia diberitahu bahwa Muadz sudah biasa melakukan itu. Lalu ia pun mendatangi Nabi saw dan mengadukan Muadz kepada beliau. Kemudian Nabi saw. bersabda:
يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَوْ أَفَاتِنٌ، ثَلاَثَ مِرَارٍ، فَلَوْلاَ صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ، وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَرَاءَكَ الْكَبِيرُ وَالضَّعِيفُ وَذُو الْحَاجَةِ
Wahai Muadz, apakah engkau pengusir atau penyeru orang yang hendak shalat? Beliau mengulanginya tiga kali. Mengapa Engkau tidak membaca “Sabbihisma Rabbika (surat al-A’la)”, “Wasy syamsi wa dhuhâhâ (surat asy-syams)” dan “Wallayli idza yaghsyâ (surat al-Lail)” saja ketika shalat. Sebab, mereka yang shalat di belakangmu itu ada orang tua, yang sakit dan sedang berkeperluan.

Karena Muadz seorang wali yang diangkat Rasulullah saw., maka ini merupakan syakwâ (pengaduan) terkait kesalahan penerapan hukum syariah yang dilakukan oleh seorang penguasa. Sebab, menurut hukum syariah, seorang imam hendaknya meringankan bacaan shalat. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمُ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ
Apabila salah seorang di antara kalian menjadi imam (shalat) orang banyak, maka hendaklah ia meringankan (bacaannya) (HR Muslim).

Kesalahan penerapan hukum syariah itu tidak hanya pada kasus shalat saja, namun pada hukum-hukum syariah lainnya. Kesalahan penerapan hukum syariah dianggap sebagai sebuah kezaliman sehingga mengadukannya adalah hak semua warga negara, Muslim dan non-Muslim. Sebab, Rasulullah saw. bersabda:
وَإِنِّي َلأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلَمِةٍ
Aku sangat berharap akan berjumpa Allah kelak dan tidak ada seseorang pun yang menuntutku karena kezaliman(HR at-Tirmidzi).

Kata ahad[un] (seseorang) dalam hadis ini mencakup setiap warga negara, Muslim dan non-Muslim. Sebab, beliau tidak bersabda: wa lâ yathlubunî Muslim[un] (tidak ada seorang Muslim pun yang menuntutku), melainkan beliau bersabda: wa laysa ahad[un] yathlubunî (tidak ada seseorang pun yang menuntutku).
Maka dari itu, dengan undang-undang ini, kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, dan kesalahan dalam penerapan hukum syariah yang dilakukan oleh penguasa, akan senantiasa terkontrol dan terkoreksi. Pada gilirannya, semua hak dan kewajiban setiap warga negara, Muslim dan non-Muslim, akan berjalan sebagaimana mestinya. Dengan begitu, kehidupan berkah di bawah naungan Khilafah bukan lagi sekadar mimpi melainkan sebuah kenyataan. WalLâhu a’lam bish-shawâb[Muhammad Bajuri]

Daftar Bacaan
Al-Ayid, Prof. Dr. Sholeh bin Husain, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm, (Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyah), Cetakan IV, 2008.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Mahmud, Ahmad, Ad-Dakwah ila al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 1995.
Al-Mas’ari, Prof. Dr. Muhammad bin Abdullah, Muhâsabah al-Hukkâm, (Tanpa Penerbit), Cetakan I, 1997.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.
Ath-Thayyar, Dr. Ali bin Abdurrohman, (Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyah), Cetakan II (Revisi), 2006.


Sabtu, 08 Maret 2014

Mitsaq Ulama Jatim 8 Maret 2014

بسم الله الرحمن الرحيم
 NASEHAT ULAMA UNTUK UMAT ISLAM,
SELAMATKAN INDONESIA!
 Dengan memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Bahwa Ulama’ adalah hamba Allah yang paling takut pada Allah SWT. Dia Ta’ala, berfirman:إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama’…” (TQS Fathir: 28)
    Maka para Ulama akherat hanya takut pada Allah SWT; hanya takut pada adzab-Nya. Keberanian, ketegasan, serta keterusterangan ulama dalam menyampaikan al haq dan menolak al batil tercatat dengan tinta emas dalam kitab-kitab tarikh, mulai dari kitab yang kecil sampai besar.
  2. Bahwa:
    • krisis multi dimensional yang terus mendera negeri kita, semakin hari semakin mengkhawatirkan; dan Pemerintah tidak pernah menunjukkan kesungguhan dalam menyelesaikannya;
    • bala’ yang menimpa Indonesia, adalah bala’ yang menimpa umat Islam; karena Indonesia adalah negeri Islam; penduduk Indonesia mayoritas muslim;
    • Menurut syara’ krisis multidimensional yang terjadi adalah  kafasidan; dan penyebab fundamental kefasidan tersebut adalah maksiat pada Allah SWT; dan solusi satu-satunya adalah kembali ta’at pada-Nya;
  3. Bahwa:
    • Demokrasi adalah masdar (sumber) dari semua kefasidan yang terjadi di negeri kita; karena Demokrasi identik dengan penerapan hukum selain hukum Allah, penerapan hukum kufur.  Dan  penerapan hukum kufur adalah perbuatan  maksiat yang besar, bahkan sebesar-besarnya maksiat.
    • Mempertahankan Demokrasi dengan semau pernik-perniknya, menjaga keberlangsungan, serta eksistensinya identik dengan mempertahankan kefasidan, mempertahankan kemaksiatan pada Allah SWT, mempertahankan yang diharamkan Allah; mempertahan krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia;
  4. Bahwa para ulama ahlus sunnah wal jama’ah muttafaq tentang wajibnya menegakkan khilafah Isalamiyyah, bahkan kwajiban menegakkan khilafah Islamiyyah merupakan kwajiban yang ahammul wajibat (kwajiban yang paling penting);
  5. Bahwa sebentar lagi negeri kita akan melaksanakan perhelatan nasional, pemilu, pileg maupun pilpres; dan opini umum di tengah-tengah masyarakat pemilumasih  identik dengan harapan terjadi perubahan; perubahan dari buruk menjadi baik, dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dari dzalim menjadi adil, dst.

Kami para ulama, kyai, pengasuh pondok pesantren hamba-hamba-Nya yang dha’if, dengan segala kerendahan hati dan penuh keikhlasan, mengajak seluruh elemen umat Islam khususnya ulama, tokoh-tokoh ormas, parpol, tokoh-tokoh masyarakat, dan para politisi untuk:
  1. Meninggalkan Demokrasi dengan semua pernik-perniknya; tinggalkan sistem yang dzalim; sistem yang membuka pintu lebar-lebar hegemoni, dominasi bahkan penjajahan asing-kafir; penyebab utama terjadinya krisis multidimensional; sistem yang menjadikan manusia sebagai al-hakim (pembuat hukum); sistem yang menghalalkan yang diharamkan Allah; sistem yang mengharamkan yang dihalalkan Allah; sistem kufur yang diharamkan oleh syara’;
  2. Bersama-sama, bahu membahu, saling menopang, saling mengisi dan saling melengkapi dalam menunaikan kwajiban syar’i kita menegakkan khilafah Islamiyyah;
  3. Menjadikan masa menjelang pemilu sebagai momentum untuk:
    • Tafakkur; merenungkan apa yang terbaik bagi kita, bagi umat; apa yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam, agar kehidupan kita berkah, diridhoi Allah, dan selamat dunia akherat;
    • lahirnya kesadaran bahwa obat mujarab, obat yang menyembuhkan dengan tuntas krisis multidimensional Indonesia adalah dengan ta’at pada Allah; kesadaran bahwa penyebab tenggelamnya Indonesia di dalam kubangan krisis multidimensional adalah diterapkannya hukum selain hukum Allah; diterapkannya sistem Demokrasi;
    • menyelamatkan Indonesia, dengan perubahan sistem, bukan hanya perubahan rezim; perubahan dengan meninggalkan sistem Demokrasi dan tegakkan khilafah Islamiyyah.

                                                                 Surabaya, 08 Maret 2014

Rabu, 05 Maret 2014

Konspirasi Global Menghalangi Khilafah



Sejak Uni Soviet sebagai pengusung ideologi sosialisme runtuh tahun 1991, Amerika Serikat (AS) dengan kapitalismenya tidak lagi memiliki saingan ideologi yang selevel dalam kancah politik internasional. Namun, Barat pada umumnya dan AS pada khususnya sesungguhnya sadar, tantangan mereka pasca sosialisme adalah ideologi Islam. Ideologi agung ini memang baru dalam tahap persiapan implementasi, belum terimplementasi secara nyata dalam sebuah negara (Khilafah). Meski demikian, ini sudah cukup bagi Barat untuk menyadari adanya ancaman ideologis yang amat serius dan mematikan bagi mereka.
Kesadaran Barat akan ancaman ideologi Islam (baca: Khilafah) itu dapat dilihat dari berbagai pernyataan para pemimpin Barat sendiri. Presiden George W. Bush (Jr) pada tahun 2006 pernah mengatakan, “This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East, and Southeast Asia.” (Khilafah ini akan menjadi imperium Islam yang totaliter yang akan melintasi negeri-negeri Muslim kini dan dulu, membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Tenggara). (www.theinevitablecaliphate.com).
Presiden Prancis Nikolas Sarkozy pada tahun 2007 juga pernah mengatakan bahwa tantangan dunia nomor satu adalah konfrontasi Islam dengan Barat. Sarkozy mengatakan, tantangan itu berupa kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda, yang hendak merestorasi kembali Khilafah, yang menolak modernitas dan keberagaman (diversity). (www.khilafah.com).
Kekhawatiran Barat terhadap Khilafah inilah yang melatarbelakangi serangkaian konspirasi, strategi dan kebijakan politik luar negeri mereka untuk mencegah Khilafah berdiri kembali. Barat sadar, jika Khilafah benar-benar berdiri, kemudian mempersatukan umat Islam sedunia dengan segenap potensi dan kekuatan yang mereka miliki, dapat dipastikan hegemoni dan kepentingan Barat akan hancur, tak hanya di Dunia Islam, tetapi bahkan di seluruh dunia.
Konspirasi atau strategi Barat untuk mencegah Khilafah tersebut terwujud dalam berbagai kebijakan politik luar negeri yang senantiasa menjadikan kaum Muslim sebagai sasaran tembak dan korban. Hal ini dapat dilihat dari Perang Teluk II saat AS dan koalisinya menyerang Irak—setelah Irak menginvasi Kuwait tahun 1991—serta memblokade Irak 8 tahun sesudahnya. Kemudian invasi AS ke Afganistan, Irak dan Somalia pada dekade lalu. Bahkan dalam perkembangan terakhir “Musim Semi Arab”, khususnya dalam Revolusi Suriah sejak tahun 2011, terlihat sekali bagaimana AS berkonspirasi secara global untuk mencegah tegaknya Khilafah.
Beberapa Bukti Adanya Konspirasi
Konspirasi global Barat di bawah pimpinan AS untuk mencegah Khilafah dibuktikan paling tidak dengan tiga indikasi.
1.       Adanya strategi AS untuk memecah-belah negara-negara Timur Tengah untuk mewujudkan instabilitas politik yang menyulitkan tegaknya kembali Khilafah di Timur Tengah.
Strategi AS itu dilakukan dengan membangkitkan sentimen kesukuan dan sektarian di negara-negara Timur Tengah, dengan memanfaatkan isu perlindungan kepada kaum minoritas dan hak menentukan nasib sendiri (self determination). Sentimen ini akan terus dibakar dan diprovokasi AS hingga mengarah pada aspirasi politik pembentukan negara baru atas dasar kesukuan atau sekte. Karena itulah, konflik sektarian Sunni-Syiah terus berkobar di beberapa negeri Islam, seperti Afganistan, Irak, Libanon, Yaman, dan sekarang di Suriah dan Bahrain.
Sesungguhnya konflik Sunni-Syiah itu bukanlah konflik yang terjadi secara alami, melainkan diprovokasi dan direkayasa secara sengaja oleh AS, bekerjasama dengan Iran yang menjadi pelayan politik setia bagi AS. Tujuannya adalah untuk memecah-belah negara-negara Timur Tengah agar terwujud situasi politik yang makin chaos dan rumit demi mempersulit tegaknya Khilafah di Timur Tengah. (Al-Waie [Arab], edisi no 325, Shafar 1435/Desember 2013, hlm. 4).
Strategi AS untuk memecah-belah Timur Tengah ini dibuktikan dengan bocoran peta baru Timur Tengah di harian New York Times yang terbit 30 September 2013. Dalam bocoran itu digambarkan bahwa lima negara yang ada di Timur Tengah akan dipecah-belah menjadi 14 (empat belas) negara. Menurut analis politik Ruben Right, pemecahbelahan ini akan dilakukan berdasarkan aspek kesukuan, sekte, ataupun pertimbangan lainnya. Sebagai contoh, Suriah akan dipecah menjadi tiga negara, yaitu negara sekte Alawiyah, negara Kurdistan (yang berlandaskan kesukuan Kurdi) dan negara Sunni. Arab Saudi akan dipecah menjadi lima negara berdasarkan kesukuan, sekte dan persengketaan internal keluarga raja. (Al-Waie [Arab], edisi no 325, Shafar 1435/Desember 2013, hlm. 4).
Strategi pemecahbelahan Timur Tengah yang dilakukan AS ini jelas menunjukkan adanya konspirasi global untuk mencegah Khilafah tegak kembali di Timur Tengah.
2.       Pernyataan-pernyataan beberapa politisi terkait Revolusi Suriah.
Pernyataan-pernyataan itu menunjukkan bahwa mereka sadar adanya aspirasi untuk menegakkan Khilafah dalam Revolusi Suriah. Pernyataan-pernyataan itu juga menunjukkan sikap mereka secara  eksplisit untuk menggagalkan aspirasi suci tersebut.
Menlu Suriah Walid al-Mualim pernah menyatakan, “Kita tahu, orang-orang yang sedang menunggu-nunggu di Suriah dan menuntut tegaknya negara Khilafah Islam tidak akan pernah berhenti pada tapal batas Suriah. Maka dari itu, yang kami lakukan sebenarnya adalah membela Yordania, Libanon dan Turki dengan memperkuat pasukan kami untuk menghadapi kelompok-kelompok teroris itu.”
Menlu Rusia Sergei Lavrov dalam pidatonya di Majelis Umum PBB tanggal 27 September 2013 mengatakan, “Mayoritas kelompok-kelompok bersenjata di Suriah adalah kelompok jihad yang beranggotakan para ekstremis yang datang dari berbagai penjuru dunia. Target-target mereka tak ada hubungannya dengan demokrasi. Mereka menganut prinsip-prinsip berlandaskan fanatisme, berusaha menghancur-kan negara sekular dan menegakkan Khilafah Islam.” (Al-Waie[Arab], edisi no 325, Shafar 1435/Desember 2013, hlm. 5).
3.       Hasil Konferensi Jenewa II yang putaran pertamanya berakhir 31 Januari 2014 yang lalu.
Konferensi itu dinilai gagal oleh media karena dianggap terdapat perbedaan tajam antara pihak rezim Suriah dan pihak oposisi. Pihak rezim Suriah mengutamakan agenda “perang melawan teroris”, sedangkan pihak oposisi mengutamakan agenda “pembentukan pemerintahan transisi.”
Namun, penilaian media itu tampaknya terlalu dini. Pasalnya, perbedaan yang ada sebenarnya bukanlah perbedaan prinsipil, mengingat kedua agenda tersebut hakikatnya adalah sama-sama skenario politik AS. Mengapa? Karena kedua agenda itu akan dilakukan secara simultan (berurutan) oleh AS. Yang akan dilakukan AS pertama-tama adalah mengupayakan situasi yang kondusif untuk solusi yang menyeluruh di Suriah. Caranya diawali dengan membentuk pemerintahan transisi (seperti model pemerintahan transisi dari berbagai faksi di Irak), lalu membentuk pasukan bantuan keamanan internasional (seperti model ISAF di Afganistan) yang akan menjadi dasar pembentukan suatu “tentara nasional” untuk Suriah. Selanjutnya AS akan menyerahkan “tentara nasional” ini kepada tokoh politik yang paling loyal kepada AS. Inilah kiranya peta jalan (road map) yang akan ditempuh AS dalam Konferensi Jenewa II tersebut. (“Nasyrah HT Suriah,” www.tahrir-syria.info, tanggal 1 Pebruari 2014).
Dengan peta jalan tersebut, yaitu pembentukan pemerintahan transisi, pembentukan pasukan keamanan internasional dan pembentukan tentara nasional, berarti AS telah berkonspirasi secara internasional untuk menggagalkan perjuangan umat Islam untuk menegakkan kembali Khilafah Islam di Suriah.
Faktor-faktor Kemenangan Islam
Di tengah konspirasi global seperti yang telah dijelaskan di atas, juga di tengah kondisi umat Islam yang lemah dan tertindas di mana-mana saat ini, mampukah kita umat Islam menghadapi dan melawan konspirasi tersebut? Apakah cita-cita mulia untuk menegakkan Khilafah akan berhasil?
Tentu, umat mampu dan Khilafah pun akan tegak! Insya Allah. Keyakinan ini terbentuk setidaknya karena lima faktor kemenangan Islam sebagai berikut:
1.       Secara empiris Peradaban Barat kini tengah mengalami kemerosotan.
Ini penting kita sadari supaya kita tak selalu menganggap Barat itu hebat, top dan segala-galanya. Sesungguhnya Peradaban Barat di bawah pimpinan AS saat ini boleh diibaratkan sebagai “the new sick man” (orang sakit baru) yang tengah menunggu sekarat. Berbagai krisis multidimensional mulai dari krisis ekonomi dan finansial, krisis politik, krisis lingkungan, krisis moralitas dan seterusnya telah menjadi semacam kanker ganas yang menggerogoti peradaban Barat yang sakit dan gagal.
Banyak penulis telah menggambarkan kemerosotan Barat ini, baik penulis Barat sendiri, maupun penulis dari kalangan anak umat Islam. Sejak sekitar tahun 1980-an hingga kini, buku-buku seperti ini terus hadir untuk membangkitkan kesadaran kita akan keroposnya Peradaban Barat. Muhammad Sulaiman pada tahun 1984 telah menulis buku As-Suquth min ad-Dakhil (Keruntuhan AS dari Dalam). Pada tahun 1992 terbit buku We’re Number One karya Andrew L. Saphiro, penulis Amerika,  yang menggambarkan kebobrokan AS di berbagai bidang di balik kesan palsu AS sebagai negara nomor satu di dunia. Belakangan muncul Muhammad Nuroddin Usman yang menulis buku berjudul Menanti Detik-Detik Kematian Barat (Solo: Era Intermedia, 2003). Lalu ada Harry Shutt, seorang Amerika lainnya, yang menulis buku Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism) (Jakarta: Teraju, 2005). Mohammad Shoelhi menulis Di Ambang Keruntuhan Amerika (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007).
2.       Strategi Barat untuk mencegah tegaknya Khilafah sering gagal.
Misalnya propaganda perang melawan terorisme, propaganda paham Islam liberal atau Islam moderat, propaganda isu hak minoritas, dan sebagainya. Strategi-strategi jahat nan busuk dari Barat di bawah pimpinan AS itu kini sudah terbongkar dan sudah disadari pula bahayanya oleh umat Islam.
HT (Hizbut Tahrir) termasuk kelompok politik Islam global yang paling gigih dalam membongkar strategi-strategi Barat yang destruktif tersebut. Pada tahun 1996, misalnya, HT telah menerbitkan buku Al-Hamlah Al-Amirikiyah li Al-Qadha‘ ‘ala Al-Islam (Serangan Amerika untuk Menghancurkan Islam). Dalam buku ini HT mengkritik empat konsep Amerika yang dimaksudkan untuk menyerang Islam yaitu demokrasi, pluralisme, HAM, dan pasar bebas. Lalu pada tahun 1998, HT menerbitkan buku Mafahim Khatirah li al-Qadha‘ ‘ala Al-Islam wa Tarkiz al-Hadharah al-Gharbiyah (Persepsi-Persepsi Berbahaya untuk Menghancurkan Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat). Dalam buku ini HT membongkar kebatilan ide-ide atau isu-isu berbahaya yang dihembuskan Barat seperti globalisasi, terorisme dan dialog antaragama.
3.       Kesadaran umat akan syariah dan Khilafah makin meningkat.
Ini tentu makin melejitkan optimisme kita, bahwa umat sesungguhnya tidak lagi jumud (beku) dan putus asa akibat tertipu oleh peradaban Barat yang kafir, melainkan telah bangkit dan bergerak menuju Islam yang murni sebagai ideologi dalam wujud negara Khilafah. Survei yang dilakukan Pew Research Center tahun 2013 menunjukkan 73% umat Islam di berbagai negara Dunia Islam menyetujui penerapan syariah Islam sebagai hukum positif oleh negara.
Apa yang disebut “Musim Semi Arab” akhir-akhir ini juga menunjukkan pulihnya solidaritas dan kesadaran umat sebagai umat yang satu. Satu peristiwa atau tragedi yang menimpa umat Islam di suatu negeri telah memengaruhi dan membangkitkan umat Islam di negeri-negeri Islam lainnya. Begitu pula aspirasi umat menegakkan Khilafah, tak hanya terdengar nyaring di Timur Tengah, tetapi juga telah menjadi suatu seruan global yang mampu menggentarkan para pemimpin Barat yang kafir.
4.       Di tengah umat telah lama hadir satu kelompok (tha’ifah) yang menapaki teladan Rasulullah saw.
Kehadiran Hizbut Tahrir (HT), alhamdulilLah, patutlah kita syukuri. Pasalnya, HT telah menempuh metode dan strategi Rasulullah saw. dalam menghadapi negara-negara adidaya kafir.
Dulu pada zaman Rasulullah saw. negara-negara adidaya tersebut termanifestasikan dalam bentuk negara Persia dan Romawi. Karena itu,  Rasulullah saw. pun melakukan dua amal dakwah utama yaitu: (1) membentuk suatu kelompok (takattul) yang sahih; (2) mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah) bersama kelompok sahih tersebut. Negara Islam yang dibentuk Rasulullah saw. inilah yang di kemudian hari dilanjutkan oleh para sahabat berhasil menghancurkan negara Persia dan Romawi.
Dua amal dakwah seperti Rasulullah saw. itulah yang kini ditempuh oleh HT. Di bawah rintisan Imam Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallahu ‘anhu, HT telah berdiri sebagai suatu kelompok (takattul) islami yang sahih, yang menempuh tahapan-tahapan dakwah yang telah diteladankan oleh Rasulullah saw. Ini amal dakwah yang pertama. Kini HT terus berjuang dengan gigih untuk mewujudkan amal dakwah yang kedua, yakni menegakkan kembali Negara Islam (Khilafah) melalui aktivitas thalabun-nushrah, yaitu mencari dukungan dari pemilik kekuatan dan kekuasaan untuk mendirikan Khilafah.
Jika Khilafah ini berdiri, insya Allah tak lama lagi, Khilafah ini akan meneladani apa yang dilakukan Rasulullah saw. dan para sahabat, yaitu menghancurkan negara adidaya AS (Amerika Serikat). Hal ini persis sebagai mana dulu Negara Islam pimpinan Rasulullah saw. dan para sahabat menghancurkan negara Persia dan Romawi.
5.       Adanya janji Allah SWT dan kabar gembira Rasulullah saw. akan kembalinya Khilafah.
Misalnya janji Allah SWT bahwa umat Islam akan berkuasa dengan Khilafah (QS an-Nur [24]: 55) dan sabda Rasulullah saw., “…kemudian akan muncul kembali Khilafah yang mengikuti jalan kenabian.” (HR Ahmad).
Ini jelas merupakan faktor yang tak boleh dilupakan oleh umat Islam. Pasalnya, faktor ini sesungguhnya berpangkal pada keimanan yang merupakan kekuatan spiritual (al-quwwah al-ruhiyyah) yang amat dahsyat, yang jauh lebih unggul daripada kekuatan mental (al-quwwah al-ma’nawiyyah) dan kekuatan fisik/materi (al-quwwah al-maaddiyyah). Dengan faktor ini, bagaimanapun lemah dan tertindasnya umat Islam saat ini, akan selalu ada energi tak terkalahkan yang mendorong umat untuk tetap gigih dan tangguh berjuang menegakkan kembali Khilafah.
WalLahu a’lam. []

Sabtu, 01 Februari 2014

Pernikahan Beda Agama

Hukum pernikahan beda agama sesungguhnya amat jelas. Perkara ini telah banyak dikupas dalam berbagai literatur Islam, mulai dari kitab fikih, tafsir hingga hadis. Kesimpulan para ulama juga tidak jauh berbeda. Hal itu disebabkan karena perkara tersebut didasarkan pada dalil-dalil yang qath’i, baik tsubûtmaupun dalâlah-nya.

Menikah dengan Kaum Musyrik
Kaum Muslim haram menikah dengan kaum musyrik. Hukum ini berlaku bagi Muslim maupun Muslimah. Laki-laki Muslim haram menikahi wanita musyrik dan wanita Muslimah haram dinikahi laki-laki musyrik. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik daripaada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya (QS al-Baqarah [2]: 221).
Ayat ini secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik.1 Bahkan tidak ada perbedaan di kalangan para ahli ilmu tentang keharaman menikahi wanita kafir (selain Ahlul Kitab) dan memakan sembelihannya.2
Menurut pendapat yang râjih, kata al-musyrikât tidak mencakup Ahlul Kitab. Di antara dalilnya adalah adanya beberapa ayat yang menyebut orang kafir itu terdiri dari dua golongan, yakni Ahlul Kitab dan musyrik (lihat QS al-Baqarah [2]:105; al-Maidah [5]: 82, al-Bayyinah [96]: 1 dan 6). Dalam ayat-ayat itu, al-musyrikîn di-athaf-kan kepada Ahli Kitab. Adanya athaf itu menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Oleh karena itu, kata al-musyrikât dalam ayat ini tidak mencakup wanita Kitabiyah. Sebagaimana dinyatakan al-Shabuni, ini merupakan pendapat jumhur ulama.3

Menikahi Ahlul Kitab
Terdapat perbedaan hukum antara pria Muslim dan wanita Muslimah dalam hal menikah dengan Ahlul Kitab. Seorang pria Muslim boleh menikahi wanita Muslimah dan Ahlul Kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik. Makanan Ahlul Kitab juga halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka. Demikian pula dengan perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang Mukmin dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari Ahlul Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).
Patut dicatat, hukum mubah itu bukan berarti harus dikerjakan. Sebab, dalam memilih istri, Rasulullah saw, telah mendorong pria Muslim untuk lebih memperhatikan aspek agamanya. Beliau bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Perempuan dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang beragama niscaya kamu akan beruntung (HR al-Bukhari).
Sebaliknya, haram wanita Muslimah menikah dengan laki-laki Ahlul Kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Allah SWT berfirman:
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Jika kalian mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa orang-orang kafir tidak halal bagi perempuan Mukmin. Kata al-kuffâr adalah kata umum yang mencakup seluruh orang-orang kafir, baik Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun orang musyrik.

Bantahan terhadap Klaim Kaum Liberal
Bertolak dari uraian di atas, hukum pernikahan beda agama sudah amat jelas. Namun, bukan kaum Liberal jika tidak suka menggugat hukum-hukum yang telah mapan. Dengan berbagai dalih, mereka menggulirkan ide tentang kebolehan pernikahan beda agama dalam segala bentuknya. Bahkan di antara mereka ada yang sudah melangkah jauh: memfasilitasi pernikahan beda agama. Berikut ini di antara beberapa dalih yang mereka kemukakan beserta bantahan terhadapnya.

a. Pluralisme.
Alasan pluralisme kerap dijadikan sebagai dalih kebolehan pernikahan lintas agama. Dalam pandangan ide ini, pernikahan beda agama tidak boleh dipermasalahkan karena hakikatnya semua agama adalah sama. Ulil Abshar Abdalla, misalnya, mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi sebab al-Quran juga tidak pernah secara tegas melarang hal itu. Sebaliknya, al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.4
Pluralisme jelas tidak boleh dijadikan penentu halal-haramnya perbuatan. Bahkan ide pluralisme sendiri adalah batil sehingga tidak boleh diyakini kebenarannya. Pandangan bahwa al-Quran memandang manusia sederajat tanpa melihat perbedaan agama juga merupakan pandangan batil. Al-Quran telah menetapkan perbedaan kemuliaan di antara manusia dan standar yang digunakan adalah aspek keimanan dan amal shaleh (QS at-Tin [95]: 4-6) dan ketakwaannya (QS al-Hujurat [49]:14). Dalam QS al-Bayyinah [98]: 6-7 juga dinyatakan bahwa kaum kafir disebut sebagai syarr al-bariyyah (seburuk-buruknya makhluk); sebaliknya, orang yang beriman dan beramal salih disebut sebagai khayr al-bariyyah (sebaik-baik makhluk). Bahkan dalam QS al-Anfal [8]: 22 kaum kafir disebut sebagai syarr al-dawâb (seburuk-buruknya binatang). Itu semua menunjukkan batilnya anggapan yang menyamakan semua manusia, apa pun agamanya.

b. Nâsikh-Mansûkh.
Tokoh liberal lainnya, Abdul Moqsith Ghazaly, mengatakan bahwa di dalam al-Quran tidak dicantumkan hukum pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Yang dicantumkan adalah sebaliknya. Ini merupakan min bab al-iktifa’. Karena itu, berlaku hukum sebaliknya (mafhûm al-mukhâlafah). Selain itu, dalam teks-teks agama tidak ditemukan dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Karena tidak ada dalil al-Quran yang melarang maka itu berarti sudah menjadi dalil kebolehannya sehingga pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dibolehkan.5
Selain itu, menurutnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun yakni QS al-Maidah [5]: 5 itu adalah ayat yang membolehkan nikah dengan Ahlul Kitab serta telah mengamandemen pelarangan menikah dengan orang kafir dan orang musyrik yang sebelumnya dilarang dalam QS al-Baqarah [5]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10.6
Pandangan bahwa tidak ada dalil yang menyebutkan larangan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim jelas dusta. Manthûq firman Allah SWT dalam QS al-Mumtahanah [60]: 10 dengan tegas menjelaskan tidak halalnya wanita Muslimah bagi orang-orang kafir. Teks dalam QS al-Baqarah juga menyatakan al-muhshanât min al-ladzîna ûtû al-kitâb adalah isim muannats yang tidak dapat mencakup laki-laki dari Ahlul Kitab sehingga mereka halal bagi perempuan Muslimah.
Pernyataan bahwa QS al-Maidah [5]: 5 merupakan ayat yang turun setelah QS al-Baqarah [2]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10 sehingga hukum kedua ayat terakhir di-naskh dengan ayat terakhir juga tidak bisa diterima.
Metode penetapan nâsikh-mansûkh—bahwa suatu hukum yang dikandung oleh suatu dalil diganti oleh hukum yang lain harus ditetapkan secara syar’i—bukan sekadar karena adanya perbedaan pada dua dalil. Harus ada nash yang menerangkan baik secara tekstual ataupun dalâlah bahwa hukum sebelumnya telah di-naskh oleh hukum yang dikandung oleh nash berikutnya atau kedua nash tersebut tidak dapat dikompromikan satu sama lain.7
Dengan mencermati ketiga ayat di atas tampak bahwa masing-masing ayat tersebut tidak ada yang saling menegasikan sehingga salah satunya harus di-naskh sebagaimana yang dijelasakan di atas. Oleh karena itu, menggunakan konsep nâsikh-mansûkh untuk membedah ayat-ayat tersebut tidak pada tempatnya. Memang di antara ulama ada yang menganggap terdapat nâsikh-mansûkh pada kedua ayat itu. Namun, jika diteliti, kesimpulannya sama: keharaman menikah dengan kaum musyrik dan kebolehan bagi pria Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab.

c. Perbedaan penafsiran.
Dalih lain lainnya terdapat dalam buku ‘Fiqih Lintas Agama’, bahwa ada keragaman di dalam menafsirkan teks-teks ayat-ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Menurut buku ini, dengan merujuk pendapat Rasyid Ridha dalam Al-Manâr, sebenarnya cakupan Ahlul Kitab tidak terbatas hanya Yahudi dan Nasrani. Jika seseorang sudah percaya pada salah satu nabi maka bisa dikategorikan Ahlul Kitab. Jadi pengertian dan cakupan Ahlul Kitab semakin meluas seiring dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, tidak ada larangan menikah dengan penganut agama lain seperti Hindu, Budha, dll selama mereka mempunyai kitab suci. Untuk mendukung pendapat tersebut penulis juga mencomot nama Abu Hanifah dan Abu A’la al-Maududi—tanpa menyertakan sumbernya—yang dianggap sejalan dengan pendapat tersebut.8
Argumentasi tersebut tidak dapat diterima karena istilah ahlul kitab adalah istilah syar’i yang memiliki batasan spesifik. Dengan demikian, istilah itu tidak dapat ditafsirkan semaunya tanpa ada pijakan yang kukuh. Ahlul Kitab dalam berbagai kitab-kitab tafsir yang mu’tabar hanya diartikan sebagai Yahudi dan Nasrani saja. Sejumlah nash telah menafsirkan frasa ahlul kitab sebagai Yahudi dan Nasrani di antaranya QS Ali Imran [3]:65; al-Maidah [5]:68; al-An’am [6]: 156.
Pandangan Rasyid Ridha yang dijadikan pijakan penulis juga tidak dapat diterima. Al-Baghdadi—sebagaimana yang dikutip Rasyid Ridha—memang menyatakan bahwa Majusi dan sejumlah firqahlainnya mengklaim memiliki nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT. Namun demikian, al-Baghdadi tidak menyatakan bahwa mereka termasuk Ahlul Kitab.9
Adapun klaim bahwa Imam Ali mengganggap Majusi sebagai Ahlul Kitab maka hal tersebut telah dibantah oleh Imam as-Sarkhasi. Beliau juga menjelaskan posisi Abu Hanifah dalam masalah ini yang kontradiktif dengan apa yang diklaim oleh orang-orang Liberal.10
Bahkan dalam Marâtib al-Ijmâ’, Ibnu Hazm menyatakan bahwa umat telah bersepakat bahwa selain Yahudi dan Nasrani dari ahlu al-harb dinamakan sebagai orang-orang musyik. Mereka juga bersepakat tentang penamaan Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir, kendati mereka berbeda pendapat dalam menamakan keduanya sebagai orang-orang musyrik.11

d. Konteks politik.
Alasan lain yang digunakan untuk membolehkan perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki kafir adalah karena larangan tersebut bersifat politis dan karenanya bersifat temporal. Suhadi dalam, Kawin Beda Agama; Perspektif Kritis Nalar Islam, menyatakan bahwa larangan perbedaan nikah beda agama adalah kembali pada asbâb an-nuzûl ayat-ayat yang melarang perempuan Muslimah menikahi laki-laki kafir. Menurutnya, hal tersebut hanya karena alasan politis karena pada awal kehidupan Muhammad di Madinah, beliau masih traumatik dengan benturan kekerasan dengan kafir Qurays Makkah.12
Pandangan bahwa setiap ayat harus dikembalikan pada asbâb an-nuzul-nya yang dianggap bersifat temporal dan parsial merupakan salah satu logika khas orang-orang Liberal. Kesimpulan ini jelas salah. Alasannya: Pertama, dari sisi redaksi, ayat-ayat yang memiliki sabab nuzûl seluruhnya berbentuk umum sehingga ia diterapkan atas keumumannya. Kedua, Rasulullah saw. dan diikuti para Sahabat ra. telah memberlakukan hukum yang umum tersebut pada seluruh perkara lain dalam kasus serupa.
Ayat tentang pencurian, misalnya, meski sabab nuzûl-nya berkaitan dengan pencurian perisai atau selendang Shafwan, oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat ia tetap diberlakukan untuk seluruh kasus pencurian. Demikian pula dengan ayat tentang li’ân yang berkenaan dengan Hilal bin Umayyah danzhihâr yang berkenaan dengan Salamah binti Shakhr atau Khaulah binti Sa’labah. Oleh karena itulah para ulama membuat suatu kaidah: al-Ibrah bi ‘umûmi al-lafdz lâ bi khusûs al-Sabab.13 Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. [M. Ishak dan Abu Burhanuddin]

Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997).
2 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, XV/151.
3 Ash-Shabuni, Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, 1/267 (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendapat ini juga dinyatakan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir lebih tepat. Lihat: ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân,IV/365: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582.
4 Ulil Abshar Abdalla. 2002. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Kompas. Senin, 18 November.
5 http://islamlib.com/id/artikel/fatwa-nu-tentang-sesatnya-islam-liberal
6 Ibid.
7 Taqiyuddin an-Nabhani. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2005) III/284.
8 Lihat: Nurcholis Madjid, at.al., Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 2004), hlm. 42-54 dan 153-165.
9 Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firâq, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt.), hlm. 223.
10 Lebih lanjut lihat: Syamsuddin As-Sarkhasi, Al-Mabsûth, al-Maktabah asy-Syamilah. IV/385; al-Kâsani,Badâi’u ash-Shanâi’, II/271, al-Maktabah asy-Syamilah.
11 Ibnu Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’. Al-Maktabah asy-Syamilah.
12 Suhadi, Kawin Lintas Agama; Pespektif Kritis Nalar Islam (Yogyakarta: LKis, 2006) hlm. 112
13 Atha Ibnu Khalil, Taysîr al-Wushûl fi ‘Ilmi al-Ushûl (Beirut: Dar al-Ummah, 2000) hlm. 223.
sumber: hizbut-tahrir.or.id