Senin, 31 Maret 2014

RUUD Khilafah Pasal 20 – Kewajiban Mengoreksi Penguasa


Pengantar
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan syariah Islam, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, dan berjihad di jalan Allah.
Khilafah bukan jabatan ilâhiyah, seperti nubuwah (kenabian) dan risâlah (kerasulan)—yang dipilih oleh Allah untuk menyampaikan syariah-Nya tanpa memandang bagaimana syariah tersebut diterapkan. Khilafah tidak lain adalah jabatan basyariyah (dipilih oleh manusia) untuk menerapkan syariah Allah SWT kepada seluruh manusia (an-Nabhanai, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II/103). Karena ini pilihan manusia dan yang dipilih (penguasanya) juga manusia, maka dalam perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadi kezaliman dan kesalahan.
Lalu bagaiman mengatasi kemungkinan terjadinya kezaliman dan kesalahan yang dilakukan oleh penguasa?Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 20, yakni tentang kewajiban mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm), yang berbunyi: Mengoreksi penguasa merupakan salah satu hak kaum Muslim dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Adapun bagi warga negara non-Muslim diberi hak untuk mengadukan kezaliman penguasa dan kesalahan penguasa dalam menerapkan hukum-hukum Islam terhadap mereka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 100).

Hukum Mengoreksi Penguasa
Tugas utama seorang penguasa setelah ia diangkat oleh umat (rakyat) adalah mengurusi setiap urusan umat (rakyat)-nya. Sebab, ia diangkat memang untuk tugas ini. Karena itu, jika ia abai atau lengah dengan tugas dan kewajibannya, maka ia wajib dikoreksi. Status hukum mengoreksi penguasa adalah fardhu kifayah (An-Nabhani,Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 100; Al-Mas’ari, Muhâsabah al-Hukkâm, hlm. 3).
Bahkan menurut Ibnu Taimiyah, fardhu kifayah (kewajiban bersama) ini bisa berubah menjadi fardhu ‘ain(kewajiban setiap orang), yaitu bagi orang yang mampu untuk melakukan dan mengubahnya. Sebab, manâth(tempat bergantung) kewajiban ini adalah al-qudrah (kemampuan) sehingga setiap manusia wajib melakukannya sesuai kemampuan (Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fi al-Islâm, hlm. 11).
Dalil kewajiban melakukan kontrol dan koreksi atas penguasa ini, di antaranya adalah hadis riwayat Muslim dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ

Nanti akan ada para pemimpin. Kemudian kalian mengetahui dan kalian mengingkari. Siapa saja yang mengetahui (kemungkaran penguasa dan mengubahnya) maka ia bebas dari dosa. Siapa saja yang mengingkari (kemungkaran itu dengan hatinya) maka ia selamat. Namun, siapa saja yang ridha dan mengikuti (kemungkaran itu maka ia berdosa).”

Memang, sabda Rasulullah saw. ini berupa kalam khabar (berita), namun maksudnya adalah kalam insyâ’(perintah). Perintah dalam hal ini merupakan perintah yang bersifat tegas, agar melakukan muhâsabah (kontrol dan koreksi) terhadap para penguasa dan mengubah perilakunya jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 149).
Pengingkaran dan pengubahan itu harus dilakukan dengan lisan saja, bukan dengan kekerasan dan mengangkat senjata. Sebab, begitulah yang dipahami dari dalil-dalil yang menjadi dasar kewajiban melakukan kontrol dan koreksi terhadap penguasa. Apalagi, terdapat hadis yang justru mengharamkan aktivitas mengangkat senjata terhadap penguasa kecuali dalam satu kondisi, yaitu ketika terjadi kekufuran secara nyata (kufr[an] bawâh[an]) yang dilakukan oleh penguasa (Mahmud, Ad-Dakwah ila al-Islâm, hlm. 60).
Dengan demikian, muhâsabah al-hukkâm (mengontrol dan mengoreksi para penguasa) merupakan hak di antara hak-hak kaum Muslim sekaligus kewajiban yang status hukumnya adalah fardhu kifayah namun bisa berubah menjadi fardhu ‘ain bagi yang memiliki kemampuan.
Perlu diingat, bahwa kewajiban mengoreksi penguasa ini sama sekali tidak bertentangan dengan kewajiban menaati penguasa (Al-Mas’ari, Muhâsabatul Hukkâm, hlm. 4). Sebab, kewajiban menaati penguasa itu hanya dalam hal yang baik saja. Karena itu, jika penguasa menyimpang dari ketentuan syariah maka tidak ada ketaatan baginya. Justru umat bermaksiat kepada Allah jika menaati penguasa yang menyimpang. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللّهِ. إنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan apapun dalam hal bermaksiat pada Allah. Ketaatan itu hanya dalam hal yang baik saja (HR Muslim).

Hak Non-Muslim Menyampaikan Syakwâ
Non-Muslim tidak berhak untuk melakukan koreksi terhadap penguasa. Sebab, dilarang sama sekali—individu, kelompok atau partai—melakukan koreksi berdasarkan akidah selain akidah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8). Akidah non-Muslim bukan akidah Islam sehingga mereka tidak berhak melakukan koreksi terhadap penguasa dengan akidahnya itu.
Namun, non-Muslim diberi hak menyampaikan syakwâ (pengaduan) atas ketidakadilan dan pelanggaran penguasa terhadap hak-hak dasarnya, seperti hak mendapatkan keadilan, kebebasan menjalankan keyakinan, jaminan keamanan dan jaminan sosial (Ath-Thayyar, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 139-144; Al-Ayid, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm, hlm. 96). Jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, maka non-Muslim berhak untuk mengadukannya. Sebab, dalam hal ini terdapat larangan berbuat zalim secara mutlak, baik terhadap kaum Muslim maupun non-Muslim, serta adanya larangan menyakiti warga negara non-Muslim (ahludz dzimmah). Rasulullah saw. bersabda:
أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِداً، أَوْ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أخَذَ مِنْهُ شَيْئاً بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ، فَأنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ketahuilah bahwa siapa saja yang menzalimi mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian), mencela dia, membebani di atas kemampuannya, atau mengambil sesuatu dari dia dengan paksa, maka saya yang akan mengalahkan dia dengan hujjah pada hari kiamat (HR Abu Dawud).

Jika menyakiti mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian) saja dilarang keras, apalagi menyakiti non-Muslim yang telah menjadi warga negara. Karena itu, jika terjadi kezaliman atas warga negara non-Muslim (ahludz dzimmah), atau ia mendapat perlakuan kurang baik dari penguasa, maka ia berhak menyampaikan syakwâ (pengaduan), agar tidak terjadi lagi kezaliman terhadap dirinya, dan pelakunya mendapatkan sanksi atas apa yang telah dia perbuat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 101).
Dalam hal ini, apapun bentuk syakwâ (pengaduan) yang disampaikan non-Muslim harus didengar, baik ia sebagai pihak yang benar maupun salah. Abu Bakar ra., misalnya, pernah menempeleng dengan keras wajah orang Yahudi bernama Finhash, yang mengatakan perkataan penghinaan terhadap Allah SWT, bahwa dia sama sekali tidak butuh Allah, sebab dirinya kaya, sementara Allah miskin karena masih mencari pinjaman harta. Dalih perkataan lancang Finhash ini adalah firman Allah SWT (yang artinya): Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak (TQS al-Baqarah [2]: 245).
Kemudian Finhash mengadukan Abu Bakar ra. kepada Rasulullah saw. Rasulullah pun mendengarkan syakwâ(pengaduan) Finhash ini. Namun, di depan Rasulullah saw., Finhash laknatullâh ‘alaih membantah bahwa ia telah mengatakan perkataan penghinaan terhadap Allah.
Semua tahu, bahwa Abu Bakar adalah mu’âwin (pembantu) Rasulullah saw. Artinya, Abu Bakar ra. adalah seorang penguasa, sementara Finhash adalah seorang mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian). Namun demikian, Rasululah saw. sangat memperhatikan dan mendengarkan pengaduan Yahudi itu tentang Abu Bakar sekali pun ia sebagai pihak yang salah. Jika syakwâ (pengaduan) mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian) saja didengar dan diperhatian, tentu syakwâ (pengaduan) yang disampaikan warga negara non-Muslim harus lebih didengar dan diperhatian (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 102).

Kesalahan Penerapan Hukum Islam
Terkait kasus kesalahan penerapan hukum Islam, maka setiap warga negara, Muslim maupun non-Muslim berhak menyampaikan syakwâ (pengaduan). Sehubungan dengan ini, sebagian kaum Muslim telah mengadukan Muadz bin Jabal ra. kepada Rasulullah saw. karena ia memanjangkan bacaan ketika shalat. Imam al-Bukhari menuturkan riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. yang mengatakan: Seorang laki-laki pergi menuju dua pancuran air. Hari sudah mulai gelap. Lalu ia mendapati Muadz sedang shalat. Ia pun meninggalkan pancuran air itu dan pergi menuju Muadz yang sedang shalat. Muadz membaca surah al-Baqarah atau an-Nisa’. Kemudian laki-laki itu pergi—ia diberitahu bahwa Muadz sudah biasa melakukan itu. Lalu ia pun mendatangi Nabi saw dan mengadukan Muadz kepada beliau. Kemudian Nabi saw. bersabda:
يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَوْ أَفَاتِنٌ، ثَلاَثَ مِرَارٍ، فَلَوْلاَ صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ، وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَرَاءَكَ الْكَبِيرُ وَالضَّعِيفُ وَذُو الْحَاجَةِ
Wahai Muadz, apakah engkau pengusir atau penyeru orang yang hendak shalat? Beliau mengulanginya tiga kali. Mengapa Engkau tidak membaca “Sabbihisma Rabbika (surat al-A’la)”, “Wasy syamsi wa dhuhâhâ (surat asy-syams)” dan “Wallayli idza yaghsyâ (surat al-Lail)” saja ketika shalat. Sebab, mereka yang shalat di belakangmu itu ada orang tua, yang sakit dan sedang berkeperluan.

Karena Muadz seorang wali yang diangkat Rasulullah saw., maka ini merupakan syakwâ (pengaduan) terkait kesalahan penerapan hukum syariah yang dilakukan oleh seorang penguasa. Sebab, menurut hukum syariah, seorang imam hendaknya meringankan bacaan shalat. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمُ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ
Apabila salah seorang di antara kalian menjadi imam (shalat) orang banyak, maka hendaklah ia meringankan (bacaannya) (HR Muslim).

Kesalahan penerapan hukum syariah itu tidak hanya pada kasus shalat saja, namun pada hukum-hukum syariah lainnya. Kesalahan penerapan hukum syariah dianggap sebagai sebuah kezaliman sehingga mengadukannya adalah hak semua warga negara, Muslim dan non-Muslim. Sebab, Rasulullah saw. bersabda:
وَإِنِّي َلأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلَمِةٍ
Aku sangat berharap akan berjumpa Allah kelak dan tidak ada seseorang pun yang menuntutku karena kezaliman(HR at-Tirmidzi).

Kata ahad[un] (seseorang) dalam hadis ini mencakup setiap warga negara, Muslim dan non-Muslim. Sebab, beliau tidak bersabda: wa lâ yathlubunî Muslim[un] (tidak ada seorang Muslim pun yang menuntutku), melainkan beliau bersabda: wa laysa ahad[un] yathlubunî (tidak ada seseorang pun yang menuntutku).
Maka dari itu, dengan undang-undang ini, kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, dan kesalahan dalam penerapan hukum syariah yang dilakukan oleh penguasa, akan senantiasa terkontrol dan terkoreksi. Pada gilirannya, semua hak dan kewajiban setiap warga negara, Muslim dan non-Muslim, akan berjalan sebagaimana mestinya. Dengan begitu, kehidupan berkah di bawah naungan Khilafah bukan lagi sekadar mimpi melainkan sebuah kenyataan. WalLâhu a’lam bish-shawâb[Muhammad Bajuri]

Daftar Bacaan
Al-Ayid, Prof. Dr. Sholeh bin Husain, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm, (Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyah), Cetakan IV, 2008.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Mahmud, Ahmad, Ad-Dakwah ila al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 1995.
Al-Mas’ari, Prof. Dr. Muhammad bin Abdullah, Muhâsabah al-Hukkâm, (Tanpa Penerbit), Cetakan I, 1997.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.
Ath-Thayyar, Dr. Ali bin Abdurrohman, (Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyah), Cetakan II (Revisi), 2006.


Sabtu, 08 Maret 2014

Mitsaq Ulama Jatim 8 Maret 2014

بسم الله الرحمن الرحيم
 NASEHAT ULAMA UNTUK UMAT ISLAM,
SELAMATKAN INDONESIA!
 Dengan memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Bahwa Ulama’ adalah hamba Allah yang paling takut pada Allah SWT. Dia Ta’ala, berfirman:إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama’…” (TQS Fathir: 28)
    Maka para Ulama akherat hanya takut pada Allah SWT; hanya takut pada adzab-Nya. Keberanian, ketegasan, serta keterusterangan ulama dalam menyampaikan al haq dan menolak al batil tercatat dengan tinta emas dalam kitab-kitab tarikh, mulai dari kitab yang kecil sampai besar.
  2. Bahwa:
    • krisis multi dimensional yang terus mendera negeri kita, semakin hari semakin mengkhawatirkan; dan Pemerintah tidak pernah menunjukkan kesungguhan dalam menyelesaikannya;
    • bala’ yang menimpa Indonesia, adalah bala’ yang menimpa umat Islam; karena Indonesia adalah negeri Islam; penduduk Indonesia mayoritas muslim;
    • Menurut syara’ krisis multidimensional yang terjadi adalah  kafasidan; dan penyebab fundamental kefasidan tersebut adalah maksiat pada Allah SWT; dan solusi satu-satunya adalah kembali ta’at pada-Nya;
  3. Bahwa:
    • Demokrasi adalah masdar (sumber) dari semua kefasidan yang terjadi di negeri kita; karena Demokrasi identik dengan penerapan hukum selain hukum Allah, penerapan hukum kufur.  Dan  penerapan hukum kufur adalah perbuatan  maksiat yang besar, bahkan sebesar-besarnya maksiat.
    • Mempertahankan Demokrasi dengan semau pernik-perniknya, menjaga keberlangsungan, serta eksistensinya identik dengan mempertahankan kefasidan, mempertahankan kemaksiatan pada Allah SWT, mempertahankan yang diharamkan Allah; mempertahan krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia;
  4. Bahwa para ulama ahlus sunnah wal jama’ah muttafaq tentang wajibnya menegakkan khilafah Isalamiyyah, bahkan kwajiban menegakkan khilafah Islamiyyah merupakan kwajiban yang ahammul wajibat (kwajiban yang paling penting);
  5. Bahwa sebentar lagi negeri kita akan melaksanakan perhelatan nasional, pemilu, pileg maupun pilpres; dan opini umum di tengah-tengah masyarakat pemilumasih  identik dengan harapan terjadi perubahan; perubahan dari buruk menjadi baik, dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dari dzalim menjadi adil, dst.

Kami para ulama, kyai, pengasuh pondok pesantren hamba-hamba-Nya yang dha’if, dengan segala kerendahan hati dan penuh keikhlasan, mengajak seluruh elemen umat Islam khususnya ulama, tokoh-tokoh ormas, parpol, tokoh-tokoh masyarakat, dan para politisi untuk:
  1. Meninggalkan Demokrasi dengan semua pernik-perniknya; tinggalkan sistem yang dzalim; sistem yang membuka pintu lebar-lebar hegemoni, dominasi bahkan penjajahan asing-kafir; penyebab utama terjadinya krisis multidimensional; sistem yang menjadikan manusia sebagai al-hakim (pembuat hukum); sistem yang menghalalkan yang diharamkan Allah; sistem yang mengharamkan yang dihalalkan Allah; sistem kufur yang diharamkan oleh syara’;
  2. Bersama-sama, bahu membahu, saling menopang, saling mengisi dan saling melengkapi dalam menunaikan kwajiban syar’i kita menegakkan khilafah Islamiyyah;
  3. Menjadikan masa menjelang pemilu sebagai momentum untuk:
    • Tafakkur; merenungkan apa yang terbaik bagi kita, bagi umat; apa yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam, agar kehidupan kita berkah, diridhoi Allah, dan selamat dunia akherat;
    • lahirnya kesadaran bahwa obat mujarab, obat yang menyembuhkan dengan tuntas krisis multidimensional Indonesia adalah dengan ta’at pada Allah; kesadaran bahwa penyebab tenggelamnya Indonesia di dalam kubangan krisis multidimensional adalah diterapkannya hukum selain hukum Allah; diterapkannya sistem Demokrasi;
    • menyelamatkan Indonesia, dengan perubahan sistem, bukan hanya perubahan rezim; perubahan dengan meninggalkan sistem Demokrasi dan tegakkan khilafah Islamiyyah.

                                                                 Surabaya, 08 Maret 2014

Rabu, 05 Maret 2014

Konspirasi Global Menghalangi Khilafah



Sejak Uni Soviet sebagai pengusung ideologi sosialisme runtuh tahun 1991, Amerika Serikat (AS) dengan kapitalismenya tidak lagi memiliki saingan ideologi yang selevel dalam kancah politik internasional. Namun, Barat pada umumnya dan AS pada khususnya sesungguhnya sadar, tantangan mereka pasca sosialisme adalah ideologi Islam. Ideologi agung ini memang baru dalam tahap persiapan implementasi, belum terimplementasi secara nyata dalam sebuah negara (Khilafah). Meski demikian, ini sudah cukup bagi Barat untuk menyadari adanya ancaman ideologis yang amat serius dan mematikan bagi mereka.
Kesadaran Barat akan ancaman ideologi Islam (baca: Khilafah) itu dapat dilihat dari berbagai pernyataan para pemimpin Barat sendiri. Presiden George W. Bush (Jr) pada tahun 2006 pernah mengatakan, “This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East, and Southeast Asia.” (Khilafah ini akan menjadi imperium Islam yang totaliter yang akan melintasi negeri-negeri Muslim kini dan dulu, membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Tenggara). (www.theinevitablecaliphate.com).
Presiden Prancis Nikolas Sarkozy pada tahun 2007 juga pernah mengatakan bahwa tantangan dunia nomor satu adalah konfrontasi Islam dengan Barat. Sarkozy mengatakan, tantangan itu berupa kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda, yang hendak merestorasi kembali Khilafah, yang menolak modernitas dan keberagaman (diversity). (www.khilafah.com).
Kekhawatiran Barat terhadap Khilafah inilah yang melatarbelakangi serangkaian konspirasi, strategi dan kebijakan politik luar negeri mereka untuk mencegah Khilafah berdiri kembali. Barat sadar, jika Khilafah benar-benar berdiri, kemudian mempersatukan umat Islam sedunia dengan segenap potensi dan kekuatan yang mereka miliki, dapat dipastikan hegemoni dan kepentingan Barat akan hancur, tak hanya di Dunia Islam, tetapi bahkan di seluruh dunia.
Konspirasi atau strategi Barat untuk mencegah Khilafah tersebut terwujud dalam berbagai kebijakan politik luar negeri yang senantiasa menjadikan kaum Muslim sebagai sasaran tembak dan korban. Hal ini dapat dilihat dari Perang Teluk II saat AS dan koalisinya menyerang Irak—setelah Irak menginvasi Kuwait tahun 1991—serta memblokade Irak 8 tahun sesudahnya. Kemudian invasi AS ke Afganistan, Irak dan Somalia pada dekade lalu. Bahkan dalam perkembangan terakhir “Musim Semi Arab”, khususnya dalam Revolusi Suriah sejak tahun 2011, terlihat sekali bagaimana AS berkonspirasi secara global untuk mencegah tegaknya Khilafah.
Beberapa Bukti Adanya Konspirasi
Konspirasi global Barat di bawah pimpinan AS untuk mencegah Khilafah dibuktikan paling tidak dengan tiga indikasi.
1.       Adanya strategi AS untuk memecah-belah negara-negara Timur Tengah untuk mewujudkan instabilitas politik yang menyulitkan tegaknya kembali Khilafah di Timur Tengah.
Strategi AS itu dilakukan dengan membangkitkan sentimen kesukuan dan sektarian di negara-negara Timur Tengah, dengan memanfaatkan isu perlindungan kepada kaum minoritas dan hak menentukan nasib sendiri (self determination). Sentimen ini akan terus dibakar dan diprovokasi AS hingga mengarah pada aspirasi politik pembentukan negara baru atas dasar kesukuan atau sekte. Karena itulah, konflik sektarian Sunni-Syiah terus berkobar di beberapa negeri Islam, seperti Afganistan, Irak, Libanon, Yaman, dan sekarang di Suriah dan Bahrain.
Sesungguhnya konflik Sunni-Syiah itu bukanlah konflik yang terjadi secara alami, melainkan diprovokasi dan direkayasa secara sengaja oleh AS, bekerjasama dengan Iran yang menjadi pelayan politik setia bagi AS. Tujuannya adalah untuk memecah-belah negara-negara Timur Tengah agar terwujud situasi politik yang makin chaos dan rumit demi mempersulit tegaknya Khilafah di Timur Tengah. (Al-Waie [Arab], edisi no 325, Shafar 1435/Desember 2013, hlm. 4).
Strategi AS untuk memecah-belah Timur Tengah ini dibuktikan dengan bocoran peta baru Timur Tengah di harian New York Times yang terbit 30 September 2013. Dalam bocoran itu digambarkan bahwa lima negara yang ada di Timur Tengah akan dipecah-belah menjadi 14 (empat belas) negara. Menurut analis politik Ruben Right, pemecahbelahan ini akan dilakukan berdasarkan aspek kesukuan, sekte, ataupun pertimbangan lainnya. Sebagai contoh, Suriah akan dipecah menjadi tiga negara, yaitu negara sekte Alawiyah, negara Kurdistan (yang berlandaskan kesukuan Kurdi) dan negara Sunni. Arab Saudi akan dipecah menjadi lima negara berdasarkan kesukuan, sekte dan persengketaan internal keluarga raja. (Al-Waie [Arab], edisi no 325, Shafar 1435/Desember 2013, hlm. 4).
Strategi pemecahbelahan Timur Tengah yang dilakukan AS ini jelas menunjukkan adanya konspirasi global untuk mencegah Khilafah tegak kembali di Timur Tengah.
2.       Pernyataan-pernyataan beberapa politisi terkait Revolusi Suriah.
Pernyataan-pernyataan itu menunjukkan bahwa mereka sadar adanya aspirasi untuk menegakkan Khilafah dalam Revolusi Suriah. Pernyataan-pernyataan itu juga menunjukkan sikap mereka secara  eksplisit untuk menggagalkan aspirasi suci tersebut.
Menlu Suriah Walid al-Mualim pernah menyatakan, “Kita tahu, orang-orang yang sedang menunggu-nunggu di Suriah dan menuntut tegaknya negara Khilafah Islam tidak akan pernah berhenti pada tapal batas Suriah. Maka dari itu, yang kami lakukan sebenarnya adalah membela Yordania, Libanon dan Turki dengan memperkuat pasukan kami untuk menghadapi kelompok-kelompok teroris itu.”
Menlu Rusia Sergei Lavrov dalam pidatonya di Majelis Umum PBB tanggal 27 September 2013 mengatakan, “Mayoritas kelompok-kelompok bersenjata di Suriah adalah kelompok jihad yang beranggotakan para ekstremis yang datang dari berbagai penjuru dunia. Target-target mereka tak ada hubungannya dengan demokrasi. Mereka menganut prinsip-prinsip berlandaskan fanatisme, berusaha menghancur-kan negara sekular dan menegakkan Khilafah Islam.” (Al-Waie[Arab], edisi no 325, Shafar 1435/Desember 2013, hlm. 5).
3.       Hasil Konferensi Jenewa II yang putaran pertamanya berakhir 31 Januari 2014 yang lalu.
Konferensi itu dinilai gagal oleh media karena dianggap terdapat perbedaan tajam antara pihak rezim Suriah dan pihak oposisi. Pihak rezim Suriah mengutamakan agenda “perang melawan teroris”, sedangkan pihak oposisi mengutamakan agenda “pembentukan pemerintahan transisi.”
Namun, penilaian media itu tampaknya terlalu dini. Pasalnya, perbedaan yang ada sebenarnya bukanlah perbedaan prinsipil, mengingat kedua agenda tersebut hakikatnya adalah sama-sama skenario politik AS. Mengapa? Karena kedua agenda itu akan dilakukan secara simultan (berurutan) oleh AS. Yang akan dilakukan AS pertama-tama adalah mengupayakan situasi yang kondusif untuk solusi yang menyeluruh di Suriah. Caranya diawali dengan membentuk pemerintahan transisi (seperti model pemerintahan transisi dari berbagai faksi di Irak), lalu membentuk pasukan bantuan keamanan internasional (seperti model ISAF di Afganistan) yang akan menjadi dasar pembentukan suatu “tentara nasional” untuk Suriah. Selanjutnya AS akan menyerahkan “tentara nasional” ini kepada tokoh politik yang paling loyal kepada AS. Inilah kiranya peta jalan (road map) yang akan ditempuh AS dalam Konferensi Jenewa II tersebut. (“Nasyrah HT Suriah,” www.tahrir-syria.info, tanggal 1 Pebruari 2014).
Dengan peta jalan tersebut, yaitu pembentukan pemerintahan transisi, pembentukan pasukan keamanan internasional dan pembentukan tentara nasional, berarti AS telah berkonspirasi secara internasional untuk menggagalkan perjuangan umat Islam untuk menegakkan kembali Khilafah Islam di Suriah.
Faktor-faktor Kemenangan Islam
Di tengah konspirasi global seperti yang telah dijelaskan di atas, juga di tengah kondisi umat Islam yang lemah dan tertindas di mana-mana saat ini, mampukah kita umat Islam menghadapi dan melawan konspirasi tersebut? Apakah cita-cita mulia untuk menegakkan Khilafah akan berhasil?
Tentu, umat mampu dan Khilafah pun akan tegak! Insya Allah. Keyakinan ini terbentuk setidaknya karena lima faktor kemenangan Islam sebagai berikut:
1.       Secara empiris Peradaban Barat kini tengah mengalami kemerosotan.
Ini penting kita sadari supaya kita tak selalu menganggap Barat itu hebat, top dan segala-galanya. Sesungguhnya Peradaban Barat di bawah pimpinan AS saat ini boleh diibaratkan sebagai “the new sick man” (orang sakit baru) yang tengah menunggu sekarat. Berbagai krisis multidimensional mulai dari krisis ekonomi dan finansial, krisis politik, krisis lingkungan, krisis moralitas dan seterusnya telah menjadi semacam kanker ganas yang menggerogoti peradaban Barat yang sakit dan gagal.
Banyak penulis telah menggambarkan kemerosotan Barat ini, baik penulis Barat sendiri, maupun penulis dari kalangan anak umat Islam. Sejak sekitar tahun 1980-an hingga kini, buku-buku seperti ini terus hadir untuk membangkitkan kesadaran kita akan keroposnya Peradaban Barat. Muhammad Sulaiman pada tahun 1984 telah menulis buku As-Suquth min ad-Dakhil (Keruntuhan AS dari Dalam). Pada tahun 1992 terbit buku We’re Number One karya Andrew L. Saphiro, penulis Amerika,  yang menggambarkan kebobrokan AS di berbagai bidang di balik kesan palsu AS sebagai negara nomor satu di dunia. Belakangan muncul Muhammad Nuroddin Usman yang menulis buku berjudul Menanti Detik-Detik Kematian Barat (Solo: Era Intermedia, 2003). Lalu ada Harry Shutt, seorang Amerika lainnya, yang menulis buku Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism) (Jakarta: Teraju, 2005). Mohammad Shoelhi menulis Di Ambang Keruntuhan Amerika (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007).
2.       Strategi Barat untuk mencegah tegaknya Khilafah sering gagal.
Misalnya propaganda perang melawan terorisme, propaganda paham Islam liberal atau Islam moderat, propaganda isu hak minoritas, dan sebagainya. Strategi-strategi jahat nan busuk dari Barat di bawah pimpinan AS itu kini sudah terbongkar dan sudah disadari pula bahayanya oleh umat Islam.
HT (Hizbut Tahrir) termasuk kelompok politik Islam global yang paling gigih dalam membongkar strategi-strategi Barat yang destruktif tersebut. Pada tahun 1996, misalnya, HT telah menerbitkan buku Al-Hamlah Al-Amirikiyah li Al-Qadha‘ ‘ala Al-Islam (Serangan Amerika untuk Menghancurkan Islam). Dalam buku ini HT mengkritik empat konsep Amerika yang dimaksudkan untuk menyerang Islam yaitu demokrasi, pluralisme, HAM, dan pasar bebas. Lalu pada tahun 1998, HT menerbitkan buku Mafahim Khatirah li al-Qadha‘ ‘ala Al-Islam wa Tarkiz al-Hadharah al-Gharbiyah (Persepsi-Persepsi Berbahaya untuk Menghancurkan Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat). Dalam buku ini HT membongkar kebatilan ide-ide atau isu-isu berbahaya yang dihembuskan Barat seperti globalisasi, terorisme dan dialog antaragama.
3.       Kesadaran umat akan syariah dan Khilafah makin meningkat.
Ini tentu makin melejitkan optimisme kita, bahwa umat sesungguhnya tidak lagi jumud (beku) dan putus asa akibat tertipu oleh peradaban Barat yang kafir, melainkan telah bangkit dan bergerak menuju Islam yang murni sebagai ideologi dalam wujud negara Khilafah. Survei yang dilakukan Pew Research Center tahun 2013 menunjukkan 73% umat Islam di berbagai negara Dunia Islam menyetujui penerapan syariah Islam sebagai hukum positif oleh negara.
Apa yang disebut “Musim Semi Arab” akhir-akhir ini juga menunjukkan pulihnya solidaritas dan kesadaran umat sebagai umat yang satu. Satu peristiwa atau tragedi yang menimpa umat Islam di suatu negeri telah memengaruhi dan membangkitkan umat Islam di negeri-negeri Islam lainnya. Begitu pula aspirasi umat menegakkan Khilafah, tak hanya terdengar nyaring di Timur Tengah, tetapi juga telah menjadi suatu seruan global yang mampu menggentarkan para pemimpin Barat yang kafir.
4.       Di tengah umat telah lama hadir satu kelompok (tha’ifah) yang menapaki teladan Rasulullah saw.
Kehadiran Hizbut Tahrir (HT), alhamdulilLah, patutlah kita syukuri. Pasalnya, HT telah menempuh metode dan strategi Rasulullah saw. dalam menghadapi negara-negara adidaya kafir.
Dulu pada zaman Rasulullah saw. negara-negara adidaya tersebut termanifestasikan dalam bentuk negara Persia dan Romawi. Karena itu,  Rasulullah saw. pun melakukan dua amal dakwah utama yaitu: (1) membentuk suatu kelompok (takattul) yang sahih; (2) mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah) bersama kelompok sahih tersebut. Negara Islam yang dibentuk Rasulullah saw. inilah yang di kemudian hari dilanjutkan oleh para sahabat berhasil menghancurkan negara Persia dan Romawi.
Dua amal dakwah seperti Rasulullah saw. itulah yang kini ditempuh oleh HT. Di bawah rintisan Imam Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallahu ‘anhu, HT telah berdiri sebagai suatu kelompok (takattul) islami yang sahih, yang menempuh tahapan-tahapan dakwah yang telah diteladankan oleh Rasulullah saw. Ini amal dakwah yang pertama. Kini HT terus berjuang dengan gigih untuk mewujudkan amal dakwah yang kedua, yakni menegakkan kembali Negara Islam (Khilafah) melalui aktivitas thalabun-nushrah, yaitu mencari dukungan dari pemilik kekuatan dan kekuasaan untuk mendirikan Khilafah.
Jika Khilafah ini berdiri, insya Allah tak lama lagi, Khilafah ini akan meneladani apa yang dilakukan Rasulullah saw. dan para sahabat, yaitu menghancurkan negara adidaya AS (Amerika Serikat). Hal ini persis sebagai mana dulu Negara Islam pimpinan Rasulullah saw. dan para sahabat menghancurkan negara Persia dan Romawi.
5.       Adanya janji Allah SWT dan kabar gembira Rasulullah saw. akan kembalinya Khilafah.
Misalnya janji Allah SWT bahwa umat Islam akan berkuasa dengan Khilafah (QS an-Nur [24]: 55) dan sabda Rasulullah saw., “…kemudian akan muncul kembali Khilafah yang mengikuti jalan kenabian.” (HR Ahmad).
Ini jelas merupakan faktor yang tak boleh dilupakan oleh umat Islam. Pasalnya, faktor ini sesungguhnya berpangkal pada keimanan yang merupakan kekuatan spiritual (al-quwwah al-ruhiyyah) yang amat dahsyat, yang jauh lebih unggul daripada kekuatan mental (al-quwwah al-ma’nawiyyah) dan kekuatan fisik/materi (al-quwwah al-maaddiyyah). Dengan faktor ini, bagaimanapun lemah dan tertindasnya umat Islam saat ini, akan selalu ada energi tak terkalahkan yang mendorong umat untuk tetap gigih dan tangguh berjuang menegakkan kembali Khilafah.
WalLahu a’lam. []