Minggu, 26 Januari 2014

Memoar dari Penjara dan Indahnya Persahabatan bersama Amir Hizbut Tahrir, Al-Alim –Al-Jalil Sheikh Ata bin Khalil Abu al- Rashtah

Memoar dari Penjara dan Indahnya Persahabatan bersama Amir Hizbut Tahrir, Al-Alim –Al-Jalil Sheikh Ata bin Khalil Abu al- Rashtah


Oleh:  Salim al- Amr
Bagian Pertama
Majalah Al – Waie edisi Arab menerima beberapa memoar dari yang terhormat, Salim al- Amr. Kami telah mempublikasikan sebagian dari memoar itu, karena Insya Allah di dalamnya terdapat pelajaran dan manfaat bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Kami menyampaikan terima-kasih dan penghargaan kepada Saudara Salim untuk memoar yang ekspresif dan menggugah ini. Kami memohon kepada Allah SWT untuk memberikan kepadanya apa yang yang akhirnya akan datang, dan semoga Allah menjaganya dari segala keburukan dan kejahatan.
Memoar Penjara dan Penghargaan Persahabatan (1)
Awalnya dimulai dari Penjara Gurun Sawaqa di Yordania. Hari itu saya tidak tahu tentang Hizbut Tahrir kecuali beberapa perkara yang membuat saya meremehkan dan membenci. Semoga Allah mengampuni orang yang menjadi penyebab atas masalah ini!
Pada pagi hari itu, berita datang ke penjara bahwa seorang tahanan bernama Ata Abu al- Rashtah [Abu Yasin] akan dipindahkan dari Penjara Juwaideh ke Penjara Gurun Sawaqa. Hal ini tidak begitu menjadi masalah bagi saya sebagaimana pentingnya hal itu bagi para syabab  (anggota) Hizbut Tahrir yang berada di ruang sebelah depan ruangan kami. Saya menyaksikan wajah-wajah ceria mereka, hanya karena mereka mendengar tentang kedatangannya. Saya mengetahui dari mereka bahwa ia adalah juru bicara resmi Hizbut Tahrir. Namun siapa dari kami yang mengenalnya?
“Bagaimana anda tidak kenal siapa orang ini, dia adalah salah seorang dari sangat sedikit orang yang menulis tentang ekonomi Islam!” seru teman saya (Ahmad al – Sa’oub, yang merupakan saudara saya seiman – dalam melawan orang-orang Yahudi). Tentu saja, Ahmad termasuk yang rajin membaca koran sampai-sampai kami mengatakan bahwa kami membeli koran seharga dua puluh sen dan dia membacanya seharga satu dinar! Bahkan iklan kecil tidak akan luput dari perhatiannya.
Ketika itu saya berada di sebuah ruangan dengan orang-orang yang disebut sebagai  orang ‘Afghan Yordania’. Kasus ini adalah satu kasus yang rumit di mana banyak orang yang tidak bersalah dizhalimi. Pada saat itu, kasus kami diberi nama sebagai ‘Kasus Wadi Mujib’. Singkatnya, kasus kami adalah suatu operasi syahid melawan para turis Yahudi yang datang ke Yordania, yang dilakukan pada ulang tahun pertama pembantaian yang dilakukan di Masjid Ibrahimi tanggal 24 Februari 1995, namun operasi gagal, dan saya dijatuhi hukuman mati, kemudian dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa.
Pemikiran saya pada saat itu lebih dekat kepada Salafi jihadi, karena itu terdapat perbedaan yang sangat jauh dalam pemikiran antara saya dan Hizbut Tahrir. Saya mengakui bahwa saya belum matang secara intelektual pada saat itu. Saya tidak peduli tentang pemikiran (fikr) atau mengetahui apa artinya. Kami tidak tahu terminologi yang kami dengar dari Syabab Hizbut Tahrir dan tidak mau memperhatikannya karena kami sangat meremehkan /mengolok-olok arti kata pemikiran (fikr). Ketika kami melihat Abu Yasin dan para pengikutnya pindah dari satu ruangan ke ruangan untuk menunaikan kewajiban kepada salah seorang dari mereka. Salah seorang teman kami berkata sinis : “Ini adalah pemimpin mereka yang megajarkan tentang pemikiran kepada mereka”. Kami pun menertawakan mereka dan dengan naif.
Di saat kami sibuk dengan masalah-masalah internal kami dan mencari berita tentang amnesti umum yang kami dengar dari waktu ke waktu, sambil berharap untuk keluar dari penjara, para Syabab Hizbut Tahrir sibuk menyerap ilmu dari Abu Yasin. Mereka, seperti yang dijelaskan oleh penulis Abdullah Abu Rumman ketika dia dipenjara karena isu roti, “mereka menulis sebuah buku setiap minggu.” Realitas mereka juga digambarkan oleh Profesor Hamza al – Aneed, pada saat dikunjungi keluarganya. Dia berkata kepada keluarganya:  bahwa bersama kami ada Abu Yasin, yang selalu memberi  kajian secara berkelanjutan. Karena itu berita tentang amnesti umum tidak menyibukan mereka (para syabab). Mereka meyakini bahwa penjara adalah qadaa’ dari Allah.  Jarang sekali ada permasalahan internal di antara mereka. Sheikh Atha telah membuat mereka sibuk dengan kajian dan menulis. Beliau mengajar mereka bahasa arab dan ushul fiqih. Ketika kami pergi berolah raga banyak dari mereka yang pergi ke perpustakaan penjara untuk membenamkan waktu mereka mempelajari kitab-kitab tafsir  dan meminjam buku karena mereka igin menjalankan tugas kewajiban yang ditugaskan kepada mereka (oleh Abu Yasin).
Memoar Penjara dan  Penghormatan Persahabatan (2)
Kadang-kadang kami terkena konflik, sebagai akibat dari perkelahian dengan pihak administrasi penjara yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini biasanya terjadi karena saudara-saudara Salafi Jihadi (negara menyebut kasus mereka sebagai kasus baiat kepada imam). Mereka menganggap para polisi adalah kumpulan thaghut, sehingga wajar terjadi permusuhan, yang membuat hidup kami selalu dalam keadaan konflik di dalam penjara, dikarenakan bentrokan diantara orang-orang seperti ini dan para penjaga tahanan dan polisi.
Kemudian, administrasi penjara berusaha menekan kami dengan melemparkan gas air mata untuk memecah belah kami. Mereka memutuskan untuk membagi kami ke dalam kamar-kamar kecil, yang tersebar di dua lantai, sehingga dapat mengurangi banyak masalah. Situasi saat itu adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh penulis dan wartawan Abdullah Abu Rumman dalam sebuah artikel yang ditulisnya ketika dia dibebaskan dari penjara dengan judul, “Pemimpin di Penjara ” (Wa fi al- sujuun ‘umara’) .
Karena saya bertanggung jawab sebagai pimpinan para tahanan, saya melayani sekelompok tahanan dari gerakan-gerakan yang berbeda : orang-orang Yordania Afghanistan, orang-orang dari gerakan yang berbeda, dan dari Hizbut Tahrir, karena sebagian dari mereka berada di sel saya, di antaranya adalah Tariq al – Ahmar, serta insinyur Laith Shubeilat. Abu Musab al-Zarqawi juga seorang pemimpin dari sebuah kelompok. Walid Hijazi adalah pemimpin Syabab Hizbut Tahrir di dalam sel termasuk Abu Yasin, karena Abu Yasin menolak untuk menjadi pemimpin. Malah dia sering berusaha untuk menjadikan Syabab sebagai pemimpin, dan membimbing mereka pada beberapa perkara.
Pada saat Sholat Jumat, kami biasa shalat di kamar. Berkali-kali kami mendengar khutbah Jumat dari Sheikh Ata dan kadang-kadang dari Abu Muhammad al- Maqdisi. Ini terjadi sebelum kami dibagi ke dalam kamar-kamar kecil. Khotbah Abu Yasin  sangat memukau sehingga mempengaruhi sebagian kelompok salafi.  Kemudian para pemimpin kelompok salafi menyadari hal ini, sehingga mereka membuat masalah untuk memisahkan kelompoknya dari syaikh Atha. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Abu Yasin kerap memberikan pelajaran secara rutin di kamar kami mengenai ushul fiqh yang biasa dihadiri sebagian Syabab di dalam ruangan. Pelajaran rutin lainnya diberikan oleh Saudara Shabeita, juga dari Hizbut Tahrir, mengenai bahasa Arab. Namun sayangnya kami tidak menaruh perhatian besar terhadap pelajaran ini.
Abu Yasin selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk berdiskusi dengan orang-orang lain di kamar yang berbeda, baik pada saat ada yag sakit atau pada situasi berkabung. Beliau tidak pernah  putus asa. Dia biasa menasehati teman-temannya dengan Wasiat Rasulullah SAW sahabat-sahabatnya,
«صلْ من قطعك، واعفُ عمّن ظلمك»
Sambungkanlah hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu dan maafkanlah  orang yang menzalimimu”.
Dia biasa mengabaikan pelecehan yang dilakukan terhadap dirinya oleh orang-orang lain dari gerakan-gerakan lain dan tidak meresponnya kecuali dengan kebaikan.
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS Fussilat : 34 )
Saat itu kami biasa mengejek para Syabab Hizbut Tahrir itu namun pada saat yang sama kami juga biasa mencintai mereka. Sebagian dari kami biasa menggoda mereka dengan mengatakan, “Kamu Syabab Hizbut Tahrir, ketika kamu pergi untuk minum kopi kamu meminta kepada pelayan untuk membawakan anda satu cangkir teh dan membawakan juga dua orang untuk berdiskusi.” Saya melihat Abu Yasin menertawakan gurauan ini, yang disampaikan oleh teman saya Idul Jahaleen (dari kasus orang ‘Afghan Yordania’), yang telah kehilangan kedua kakinya dalam usaha meledakkan bioskop – semoga Allah memberinya kesehatan. Dr. Ali al – Faqir, yang biasa duduk dalam lingkaran pengajian Abu Yasin dan belajar Usul, akan mengatakan kepada kami untuk bersikap adil, ketika kami hanya berdua: saudaraku, jika ada orang yang layak dihormati, maka itu adalah Abu Yasin. (Hal ini termasuk ke dalam pengakuan jujur tentang seseorang).
Setelah dua tahun di penjara, gambaran mulai jelas bagi saya sedikit demi sedikit. Saya bisa melihat hal-hal secara obyektif. Saya terutama melihat bertambahnya masalah-masalah internal hanya karena alasan-alasan sepele, suatu hal yang membuat saya membuang-buang waktu saja. Saya kemudian menulis permintaan kepada administrasi penjara untuk mengirimkan saya ke lantai dua, ruangan tempat para Syabab Hizbut Tahrir itu. Permohonan saya disetujui, namun dibatalkan beberapa jam kemudian! Jadi saya tinggal di sana hanya semalam, kemudian kembali ke ruangan asal saya. Duh, sungguh kebahagiaan yang belum terlaksana.
Dari waktu ke waktu, kami mengucapkan selamat tinggal kepada Syabab yang dibebaskan, dan menjadi kebiasaan untuk merayakan saat pembebasan mereka. Bersama dengan sipir penjara, saya mengorganisir malam pelepasan sebagian dari mereka, saya ikut tidur di kamar-kamar mereka, untuk mempersembahakan bebrapa nyanyian/nasyid untuk merayakan pembebasan mereka.
Kemudian datanglah hari ketika Allah SWT memberikan kehormatan kepada saya untuk berjumpa dengan Amir Hizbut Tahrir dan Syababnya dalam satu sel, ketika kami dipindahkan ke Penjara Salt (di utara – barat Jordan) yang dibagi-bagi ke dalam sel-sel yang tidak tersinari matahari. Di dalam sel itu terdapat tempat tidur yang terbuat dari dua lantai beton dan setiap sel memiliki empat tingkat, yakni delapan tahanan dalam sebuah ruangan.
Jika dibandingkan dengan Penjara Sawaqa, Penjara Salt merupakan ujian yang lebih berat. Suasanaya pun berubah, tempatnya sangat sempit, kelembabannya berlipat dan permasalahan-pun meningkat. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa saya adalah orang yang paling banyak mendapatkan manfaat karena perpindahan ini, meskipun semua orang tahu bahwa mereka membawa saya dengan jarak dua kali lipat jauhnya dari keluarga saya, karena saya berasal kota Karak. Dengan karunia Allah, berubahlah kesulitan di penjara ini menjadi kenikmatan tersendiri.
Memoar Penjara dan Indahnya Persahabatan (3)
Setiap penjara memiliki suasana yang berbeda. Meskipun kurangnya pelayanan dan sel-sel kecil di Penjara Salt, kami mulai terbiasa dengan tempat itu. Penjara bukanlah hanya tembok. Terkadang seseorang bisa mengubah kesulitan di penjara menjadi nikmat, karena kehendaknya sendiri, meskipun terdapat banyak rintangan.
Pada saat itu Abu Yasin hendak mengucapkan selamat tinggal pada sebagian besar Syabab Hizbut Tahrir di penjara itu. Tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali hanya sedikit, yang semuanya akan segera bebas karena hukuman mereka berakhir. Saya ingat mereka adalah Walid Hijazi, Suhaib Ja’ara, dan Abdul al- Rahim Abu ‘ Alba. Ini adalah apa yang terjadi; dalam beberapa minggu mereka akan berada di luar tembok penjara, menghirup udara kebebasan.
Tak seorang pun dari Syabab yang tersisa di ruangan kecuali Abu Yasin. Betapa menyakitkan dan menyedihkan ketika seseorang ditinggal seorang diri terisolasi, tanpa seorang teman di dalam ruangan. Terhadapnya saya mengulang-ulang syair yang berbunyi:
Orang-orang yang aku cintai telah pergi & Aku tersisa menyendiri seperti sebilah pedang
Di sini saya memutuskan untuk pindah ke kamarnya, terutama karena sekarang hal ini sudah menjadi lebih mudah.
Saya juga teringat akan perkataan seorang penyair :
Jika angin-anginmu telah berhembus, maka manfaatkanlah & karena bagi setiap kegaduhan pasti ada ketenangan
Ada banyak alasan atas keputusan saya ini, di antarannya:  suasana kedamaian di dalam ruangan Abu Yasin; melayani seorang pria yang sudah beruban. Maka Dia memang layak untuk dilayani -Karena di antara wujud menganggungkan Allah adalah menghormati seorang Muslim yang telah tua dan mengormati Ahli Al-Qur’an -, keluasan hati yang menjadi ciri khas Abu Yasin. Suatu hari saya melihat ada seorang pemuda yang banyak berbuat buruk kepadanya, namun dia tidak memperdulikannya.
Setelah pindah ke selnya, saya mulai memperhatikan pria itu dari dekat, bagaimana cara dia makan, bagaimana cara dia minum, bagaimana cara dia melakukan wudhu, bagaimana cara dia beribadah, dan bagaimana cara dia berurusan dengan orang-orang. Saya melihat Islam terwujud dalam kenyataan di dalam sel itu. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Abu Yasin adalah orang yang dihormati semua orang. Dia selalu menyambut anda dengan senyum. Ketika dia berwudhu dia tidak menyia-nyiakan air, dia akan menutup keran beberapa kali selama wudhu’ saat dia bergerak dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain. Saya akan bertanya kepadanya, “Abu Yasin, apakah anda khawatir air di penjara akan habis?” “Air ini adalah milik umum”, dia akan menjawab, “air harus dilestarikan dan jangan di sia-siakan.”
Dia biasa menyambut semua orang dengan salam, namun beberapa tahanan dari gerakan-gerakan lain tidak akan membalas salamnya, suatu hal yang membuatnya sedih. Dia akan berkata kepada saya, “Bagaimana mentalitas seperti itu ditangani ketika negara Islam berdiri? “Dia diam sebentar dan kemudian berkata, “Tidak ada solusi untuk hal ini, setelah pembentukan Khilafah, kecuali bahwa mereka ditempatkan di perbatasan untuk berperang melawan musuh.”
Hanya ada satu televisi di penjara, untuk semua orang. Televisi itu selalu berada di ruang makan. Abu Yasin pergi ke sana hanya untuk menonton berita pukul delapan dan kemudian akan kembali ke selnya.
Suatu hari salah seorang tahanan lain, dari keluarga Tahhan, yang bukan dari Syabab Hizbut Tahrir (dia dipenjara karena membawa senjata) berkata kepada saya, “Saudaraku, anda tidak tahu betapa saya menghormati orang ini (Ata). Saya telah melihatnya lebih dari sekali menangis setelah mendengarkan buletin berita, terutama ketika dia mendengar berita yang menyakitkan dari Aljazair dan pembunuhan yang terjadi di sana.”
Karena saya berasal dari klan Amr yang terkenal dari kota Karak, sebagian panglima militer yang berasal dari selatan berupaya mendekati saya; kami biasa pergi ke halaman untuk beristirahat di belakang penjara. Kadang-kadang sipir penjara pun keluar bersama kami.
Suatu hari, seorang panglima militer dari klan al- Shabtat al – Tufayla mengatakan kepada saya bahwa dia telah menghabiskan masa pengabdiannya pada Dinas Keamanan Preventif, sebelum dipindahkan ke penjara itu. Setelah mulai keakraban dan persahabatan tumbuh diantara kami, dia berkata kepada saya, “Salim, menurut pendapat anda, siapa yang paling berbahaya bagi rezim Yordania dari orang-orang yang ada di sini? “Jawaban saya singkat: kelompok  ‘kesetiaan kepada  Imam’ (yaitu ‘Salafi Jihadi’) lalu ‘Peledak Ajloun’. Dia sedikit tertawa dan kemudian berkata, “Semua orang itu tidak bisa melemahkan kami. “Kemudian dia berkata, ” Apakah anda melihat bahwa orang itu (Abu Yasin) berjalan di sana sendirian, tidak ada seorangpun di antara kamu yang memperhatikannya.” “Ya,” jawab saya . “Dia adalah yang paling berbahaya dari anda bagi rezim Yordania.”
Saya kemudian menyadari bahwa kenyataan ini tidak seperti yang terlihat. Sebagian Petinggi militer sering datang dengan diam-diam ke sel itu untuk duduk bersama Abu Yasin, ketika mereka yakin tidak ada penjaga keamanan penjara.  Saya kemudian menyadari bahwa nushroh (adanya perlindungan/pertolongan dari para pemegang kekuasaan) itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Saya juga  yakin bahwa banyak dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan keimanan mereka (maksudnya banyak orang yang berada di lingkungan rejim pemerintah yang tidak mendukung rejim itu, dan siap memberikan dukungannya kepada para pengemban dakwah)
Dahulu saya dulu tidak mampu membedakan antara Mubtada (subjek) dengan Khabar (predikat) dalam ilmu nahwu. Suatu hari, Abu Yasin berkata kepada saya, “Mengapa anda tidak memanfaatkan waktu anda dan belajar bahasa Arab? ” Saya menjawab, “Ini adalah pelajaran yang sulit yang saya tidak mengerti, lupakan saja”. Maka Abu Yasin berkata : “Yang harus anda lakukan adalah membawa mushaf al- Quran, buku catatan, dan pena, kemudian serahkan sisanya kepada saya. Anda akan belajar itu, Insya Allah”. Saya-pun menentangnya, bahwa dia akan membuang-buang waktu di tempat yang salah. Namun, dia bersikeras untuk mengajariku bahasa Arab. Mengapa tidak, ini adalah bahasa Al-Qur’an dan kunci untuk memahaminya dan menggali hukum-hukumnya.
Pada akhirnya, saya meyakinkan sebagian narapidana lain untuk belajar bahasa Arab, dan kami mulai pada metode lama sekolah Qur’an (katatib). Kami mulai membedakan antara Kalimah Isim, Kalimah Fi’il, dan Harf, dan bahwa Jumlah  itu adalah suatu ungkapan yang berfaidah dan bermakna (Kalaamun Mufiidun Dzuu Ma’nan) . Sebagian besar contoh yang dia gunakan adalah dari Al-Qur’an, demikian juga tugas-tugas yang dia berikan kepada kami. Pada akhirnya, setelah beberapa minggu kami menjalani tes yang saya tidak pernah bermimpi pernah mampu menyelesaikannya di masa lalu – Yakni menyelesaikan i’rab Surat al – Anfal (mengurai kata dan kalimat) secara sempurna, dan saya bisa melakukannya. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang terbaik atas pelajaran yang diajarkannya! (diterjemahkan riza/yasin, sumber: alwaie bahasa arab edisi 324)

Selasa, 21 Januari 2014

Pandangan Islam tentang Jaminan Kesehatan Nasional



Konsep jaminan kesehatan nasional tersebut berasal dari kaum kafir penjajah yang dipaksakan atas kaum Muslimin Indonesia.
Konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini berakar dari suatu pandangan yang bersifat neoliberalistik. Konsep ini berusaha menghilangkan peran negara/pemerintah dalam mengurus rakyat. Konsep ini menegaskan bahwa layanan kesehatan dianggap lebih baik diselenggarakan melalui asuransi sosial daripada diselenggarakan oleh pemerintah.
Dengan kata lain, JKN pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak pemerintah, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial. Institusi yang dimaksud, untuk konteks Indonesia, adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).
Pandangan Hukum Islam
Berdasarkan fakta tersebut, dalam pandangan hukum Islam, haram hukumnya pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).
Ada lima alasan keharamannya, yakni:
Pertama, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut bukanlah peraturan syariah Islam, melainkan peraturan hukum kufur. Yang disebut hukum kufur, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, adalah setiap hukum yang bukan hukum syariah Islam. (kullu hukmin ghairi syar’iyyin huwa hukmu kufrin). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, Beirut : Darul Ummah, 2004, hlm. 136).
Padahal seorang Muslim, siapapun dia, baik rakyat atau penguasa/pemimpin, haram hukumnya menerapkan hukum kufur, dan sebaliknya wajib menerapkan syariah Islam saja, bukan hukum yang lain. Banyak ayat Alquran dan hadits yang menegaskan hal tersebut.
Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam), maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” (TQS Al Maa`idah : 45).
Padahal hukum Islam itulah hukum yang terbaik, bukan hukum buatan manusia. Hukum buatan manusia inilah yang dalam Al Qur`an disebut dengan hukum Jahiliyyah/hukum thaghut. Firman Allah SWT:“Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki. Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maaidah : 50).
Kedua, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut berasal dari kaum kafir penjajah yang dipaksakan atas kaum Muslimin Indonesia. Pemaksaan kaum kafir tersebut dapat menimbulkan dominasi kaum kafir penjajah atau antek-anteknya atas kaum Muslimin. Pada waktu yang sama pemaksaan itu dapat menghilangkan kedaulatan kaum Muslimin untuk mengatur negeri sendiri berdasarkan hukum syariah Islam.“Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan suatu jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa` : 141).
Ketiga, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut akan menimbulkan mudharat, yaitu semakin beratnya beban hidup masyarakat, akibat pemaksaan iuran bulanan yang akan diambil secara paksa oleh BPJS. Padahal Islam adalah ajaran yang mengharamkan segala bentuk mudharat, termasuk mudharat dalam bentuk iuran paksa yang menimbulkan beban tambahan atas rakyat yang sudah menderita selama ini.
Sabda Rasulullah SAW : Tidak boleh menimbulkan mudharat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga mudharat (bahaya) bagi orang lain di dalam ajaran Islam.” (HR Ibnu Majah no 2340; Ahmad 1/133 & 5/326).
Allah SWT juga sudah mengingatkan agar umat Islam selalu mewaspadai kaum kafir yang memang selalu ingin menimbulkan mudharat bagi kita umat Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kaum kafir), karena mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.” (QS Ali ‘Imran : 118).
Keempat, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut bertentangan dengan Islam dalam hal peran negara. Konsep JKN adalah konsep kafir yang berusaha untuk menghilangkan peran dan tanggung jawab negara dalam mengurus rakyat, termasuk urusan jaminan kesehatan.
Sementara dalam ajaran Islam, negara mempunyai peran sentral dan sekaligus bertanggung jawab penuh dalam segala urusan rakyatnya, termasuk urusan kesehatan. Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan tanggung jawab seorang Imam / Khalifah (kepala negara Islam) untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. Sabda Rasulullah SAW: “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah bagaikan penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya (gembalaannya).” (HR Bukhari no  4904 & 6719; Muslim no 1827).
Kelima, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut bertentangan dengan jaminan kesehatan dalam Islam. Dalam JKN, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat harus dengan membayar iuran yang dipaksakan (asuransi sosial). Sedang dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat dari pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Dalam ajaran Islam, negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut: Dari Jabir RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Terdapat pula hadits lain dengan maksud yang sama, dalam Al Mustadrak ‘Ala As Shahihainkarya Imam Al Hakim, sebagai berikut :
“Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).
Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku khalifah (kepala negara Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang shahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara.
Namun hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli obat dari apotek swasta hukumnya haram. Karena yang diperoleh secara gratis adalah layanan kesehatan dari negara. Adapun jika layanan kesehatan itu dari swasta (bukan pemerintah), misalnya dari dokter praktek swasta atau membeli obat dari apotik umum (bukan apotek pemerintah), maka hukumnya tetap boleh membayar jasa dokter atau membeli obat dari apotek swasta tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil umum bolehnya berobat dengan membayar dan dalil umum bolehnya jual beli. (Taqiyuddin An Nabhani,Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).

Senin, 06 Januari 2014

Tiga Peristiwa Besar di Bulan Rabi’ul Awal

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Biasanya pada bulan Rabi’ul Awal kaum muslim memperingati Maulid Nabi SAW, padahal Maulid Nabi hanya satu dari tiga peristiwa besar yang terjadi tanggal 12 Rabi’ul Awal. Ketiga peristiwa besar tersebut adalah; Pertama, maulid (hari lahirnya) Nabi SAW; kedua, hijrahnya Nabi SAW ke Madinah, yakni berdirinya Daulah Islamiyah; dan ketiga, wafatnya Nabi SAW, yakni berdirinya Khilafah Islamiyah Rasyidah.
1.Lahirnya Nabi SAW

Nabi SAW dilahirkan hari Senin 12 Rabiul Awal pada tahun Gajah di Makkah. (Rawwas Qalahjie, Sirah Nabawiyah (terj.), hal. 15; Ibnul Qayyim, Zadul Maad, Juz 1 hal. 28).
Kelahiran Nabi SAW sendiri banyak diiringi dengan berbagai keajaiban. Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifa` menyebut ada 132 keajaiban. Di antaranya, ketika lahir dan digendong oleh Asy-Syifa` Ummu Abdurrahman bin Auf, beliau (Nabi SAW) menangis keras dan berkata kepada Asy-Syifa`,”Semoga Allah merahmatimu.”(rahimakillah). (Qadhi Iyadh, Asy-Syifa` bi Ta’rif Huquq Al-Mushtafa, hal. 205).
Kelahiran Nabi SAW adalah kelahiran seseorang yang kelak mempunyai banyak keistimewaan di dunia dan akhirat dalam segala aspeknya. Banyak kitab telah ditulis tentang keistimewaan beliau, seperti kitab Qiyadatur Rasul As-Siyasiyah wa Al-Askariyah karya Ahmad Ratib Armusy (Beirut : Darun Nafa`is, 1991), yang mencoba menjelaskan aspek kepemimpinan Nabi SAW dalam bidang militer dan politik. Juga kitab Dirasat Tahliliyah li Syakhshiyah Ar-Rasul karya Rawwas Qalahjie (Beirut : Darun Nafa`is, 1988). Kitab ini mencoba melukiskan kepribadian Nabi SAW secara lebih lengkap, tak hanya aspek kemiliteran dan kepemimpinan, tapi juga pribadi beliau sebagai guru (murabbi), suami, dan sebagai manusia biasa (aspek kemanusiaan/basyariyah).
Di antara keistimewaan Nabi SAW ialah beliau memegang dua kedudukan sekaligus, yakni sebagai nabi sekaligus kepala negara. Imam Taqiyuddin an-Nabhani –radhiyallahu ‘anhu– berkata :

فكان يتولى النبوة والرسالة وكان في نفس الوقت يتولى منصب رئاسة المسلمين في إقامة أحكام الإسلام

Maka Nabi SAW dahulu memegang kedudukan kenabian dan kerasulan, dan pada waktu yang sama Nabi SAWmemegang kedudukan kepemimpinan kaum muslimin dalam menegakkan hukum-hukum Islam.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhamul Hukm fil Islam, hal. 116-117).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani mendasarkan pendapatnya pada dua kategori ayat yang berbeda. Pertama, ayat-ayat yang terkait dengan tugas tabligh (menyampaikan wahyu), seperti QS Al-Maidah : 67, yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

Wahai rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS Al Maaidah [5] : 67)
Kedua, ayat-ayat yang terkait dengan tugas menerapkan hukum yang diturunkan Allah  (al-hukm bimaa anzalallah( seperti QS Al-Maidah : 48 dan QS Al-Maidah : 49. Firman Allah SWT :

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ
“Maka berikanlah keputusan hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah“. (QS Al Maaidah [5] : 48)
Jadi Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang nabi yang bertugas menyampaikan wahyu, namun juga sekaligus pemimpin negara yang menerapkan hukum Allah kepada masyarakat. (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhamul Hukm fil Islam, hal. 118).
Tugas kenabian ini berakhir dengan wafatnya Nabi SAW. Namun tugas kepemimpinan negara ini tak berakhir, melainkan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sebagai kepala negara Khilafah sepeninggal Nabi SAW. Sabda Nabi Muhammad SAW :

كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء. كلما هلك نبي خلفه نبي. وإنه لا نبي بعدي. وستكون خلفاء فتكثر

“Dahulu Bani Israil diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…” (HR Muslim, no 1842).
2.Hijrahnya Nabi SAW

Bulan Muharram memang ditetapkan sebagai awal perhitungan tahun Hijriyah. Tapi hijrahnya Nabi SAW sendiri tidak terjadi pada bulan Muharram, melainkan pada bulan Rabi’ul Awal.
Beliau mulai berhijrah meninggalkan Gua Tsur malam Senin tanggal 1 Rabi’ul Awal tahun I Hijriyah (16 September 622 M). Nabi SAW sampai di Quba’ hari Senin tanggal 8 Rabiul Awal tahun 1 H (23 September 622 M), lalu berdiam di sana selama empat hari, yaitu hari Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis. Nabi SAW selanjutnya memasuki Madinah hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1 H. (Shafiyurrahman Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (terj.), hal. 232-233; Ahmad Ratib Armusy, Qiyadatur Rasul, hal. 40).
Dengan demikian, tanggal 12 Rabiul Awal itu adalah sampainya Nabi di Madinah. Ini menandai berdirinya Daulah Islamiyah (qiyam ad-daulah al-islamiyah) (Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyah, hal. 48).
Sebelum hijrah, terjadi peristiwa Baiat Aqabah II di Makkah antara Nabi SAW dan Suku Auz dan Khrazraj dari Madinah. Baiat ini sesungguhnya adalah akad pendirian Daulauh Islamiyah, antara Nabi SAW dan Suku Aus dan Khazraj. (Al-Marakbi, Al-Khilafah Al-Islamiyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Muashirah, hal. 16).
Jadi, dengan baiat tersebut secara hukum (de jure) Nabi SAW sudah menjadi kepala negara di Madinah. Namun secara fakta (de facto) kepemimpinan ini baru efektif setelah Nabi SAW sampai di Madinah.
Hijrahnya Nabi SAW ke Madinah bukan karena beliau takut akan dibunuh Quraisy. Namun alasan sesungguhnya adalah karena di Madinah terdapat kesiapan masyarakat untuk menegakkan Daulah Islamiyah dan mendukung dakwah Islam yang diemban Nabi SAW. (Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyah, hal. 47).
3. Wafatnya Nabi SAW

Nabi SAW wafat hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H. (Ibnu Katsir, As-Sirah An-Nabawiyah, Juz IV hal. 507. Ibnu Katsir berkata,”Inilah tanggal yang dipastikan oleh Al-Waqidi dan Muhammad bin Saad”. Lihat pula Muruj Adz-Dzahab, Juz II hal. 304. Dikutip oleh Mahmud Al-Khalidi, Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, hal. 255).
Wafatnya Nabi SAW ini menjadi pertanda lahirnya negara Khilafah Islam Rasyidah. Sebab pada hari yang sama, bahkan sebelum jenazah Nabi SAW dimakamkan, umat Islam telah membaiat Abu Bakar Shiddiq sebagai khalifah.
Nabi SAW meninggal pada waktu Dhuha hari Senin itu. Sementara Abu Bakar Shiddiq dibaiat sebagai khalifah hari Senin itu pula (baiat in’iqad/baiat khashash). Selasa pagi Abu Bakar Shiddiq dibaiat oleh kaum muslimin di masjid (baiat tha’at/baiat ammah). Nabi SAW sendiri baru dimakamkan pada pertengahan malam pada malam Rabu. (Ajhizah Daulah Al-Khilafah, hal.13).
Walhasil, pada bulan Rabiul Awal telah terjadi tiga peristiwa besar, yaitu Maulid Nabi SAW, Maulid Daulah Islamiyah, dan Maulid Khilafah Rasyidah. Ketiganya wajib kita pahami dan kita jadikan sebagai sumber semangat di masa sekarang, untuk berjuang menegakkan kembali Khilafah. Sebab Khilafah inilah sunnah (metode) yang dirintis oleh Nabi SAW sebagai Daulah Islamiyah, lalu sunnah ini dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin sebagai Khilafah Rasyidah. Sabda Nabi SAW :

فعليه بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ

“Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, dan gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi-gigi gerahammu [peganglah dan amalkan dengan kuat].” (HR Tirmidzi, no 2816). Wallahu a’lam.