Pengantar
Khilafah
adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan
syariah Islam, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, dan berjihad di jalan
Allah.
Khilafah
bukan jabatan ilâhiyah, seperti nubuwah (kenabian)
dan risâlah (kerasulan)—yang dipilih oleh Allah untuk
menyampaikan syariah-Nya tanpa memandang bagaimana syariah tersebut diterapkan.
Khilafah tidak lain adalah jabatan basyariyah (dipilih oleh
manusia) untuk menerapkan syariah Allah SWT kepada seluruh manusia
(an-Nabhanai, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II/103). Karena ini
pilihan manusia dan yang dipilih (penguasanya) juga manusia, maka dalam
perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadi kezaliman dan kesalahan.
Lalu
bagaiman mengatasi kemungkinan terjadinya kezaliman dan kesalahan yang
dilakukan oleh penguasa?Telaah Kitab kali ini akan membahas
Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 20, yakni tentang
kewajiban mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm),
yang berbunyi: Mengoreksi penguasa merupakan salah satu hak kaum Muslim
dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Adapun bagi warga negara non-Muslim diberi
hak untuk mengadukan kezaliman penguasa dan kesalahan penguasa dalam menerapkan
hukum-hukum Islam terhadap mereka (An-Nabhani, Muqaddimah
ad-Dustûr, hlm. 100).
Hukum Mengoreksi Penguasa
Tugas
utama seorang penguasa setelah ia diangkat oleh umat (rakyat) adalah mengurusi
setiap urusan umat (rakyat)-nya. Sebab, ia diangkat memang untuk tugas ini.
Karena itu, jika ia abai atau lengah dengan tugas dan kewajibannya, maka ia
wajib dikoreksi. Status hukum mengoreksi penguasa adalah fardhu kifayah (An-Nabhani,Muqaddimah
ad-Dustûr, hlm. 100; Al-Mas’ari, Muhâsabah al-Hukkâm, hlm. 3).
Bahkan
menurut Ibnu Taimiyah, fardhu kifayah (kewajiban bersama) ini
bisa berubah menjadi fardhu ‘ain(kewajiban setiap orang), yaitu
bagi orang yang mampu untuk melakukan dan mengubahnya. Sebab, manâth(tempat
bergantung) kewajiban ini adalah al-qudrah (kemampuan)
sehingga setiap manusia wajib melakukannya sesuai kemampuan (Ibnu
Taimiyah, Al-Hisbah fi al-Islâm, hlm. 11).
Dalil
kewajiban melakukan kontrol dan koreksi atas penguasa ini, di antaranya adalah
hadis riwayat Muslim dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
سَتَكُونُ
أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ
سَلِمَ، وَلكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
Nanti
akan ada para pemimpin. Kemudian kalian mengetahui dan kalian mengingkari.
Siapa saja yang mengetahui (kemungkaran penguasa dan mengubahnya) maka ia bebas
dari dosa. Siapa saja yang mengingkari (kemungkaran itu dengan hatinya) maka ia
selamat. Namun, siapa saja yang ridha dan mengikuti (kemungkaran itu maka ia
berdosa).”
Memang, sabda Rasulullah saw. ini berupa kalam khabar (berita),
namun maksudnya adalah kalam insyâ’(perintah). Perintah dalam hal
ini merupakan perintah yang bersifat tegas, agar melakukan muhâsabah (kontrol
dan koreksi) terhadap para penguasa dan mengubah perilakunya jika mereka
melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat,
mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau
memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan (Hizbut
Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm.
149).
Pengingkaran
dan pengubahan itu harus dilakukan dengan lisan saja, bukan dengan kekerasan
dan mengangkat senjata. Sebab, begitulah yang dipahami dari dalil-dalil yang
menjadi dasar kewajiban melakukan kontrol dan koreksi terhadap penguasa. Apalagi,
terdapat hadis yang justru mengharamkan aktivitas mengangkat senjata terhadap
penguasa kecuali dalam satu kondisi, yaitu ketika terjadi kekufuran secara
nyata (kufr[an] bawâh[an]) yang dilakukan oleh penguasa (Mahmud, Ad-Dakwah
ila al-Islâm, hlm. 60).
Dengan
demikian, muhâsabah al-hukkâm (mengontrol dan mengoreksi para
penguasa) merupakan hak di antara hak-hak kaum Muslim sekaligus kewajiban yang
status hukumnya adalah fardhu kifayah namun bisa berubah
menjadi fardhu ‘ain bagi yang memiliki kemampuan.
Perlu
diingat, bahwa kewajiban mengoreksi penguasa ini sama sekali tidak bertentangan
dengan kewajiban menaati penguasa (Al-Mas’ari, Muhâsabatul Hukkâm,
hlm. 4). Sebab, kewajiban menaati penguasa itu hanya dalam hal yang baik saja.
Karena itu, jika penguasa menyimpang dari ketentuan syariah maka tidak ada
ketaatan baginya. Justru umat bermaksiat kepada Allah jika menaati penguasa
yang menyimpang. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ
طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللّهِ. إنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Tidak
ada ketaatan apapun dalam hal bermaksiat pada Allah. Ketaatan itu hanya dalam
hal yang baik saja (HR
Muslim).
Hak Non-Muslim Menyampaikan Syakwâ
Non-Muslim
tidak berhak untuk melakukan koreksi terhadap penguasa. Sebab, dilarang sama
sekali—individu, kelompok atau partai—melakukan koreksi berdasarkan akidah
selain akidah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8).
Akidah non-Muslim bukan akidah Islam sehingga mereka tidak berhak melakukan
koreksi terhadap penguasa dengan akidahnya itu.
Namun,
non-Muslim diberi hak menyampaikan syakwâ (pengaduan) atas
ketidakadilan dan pelanggaran penguasa terhadap hak-hak dasarnya, seperti hak
mendapatkan keadilan, kebebasan menjalankan keyakinan, jaminan keamanan dan
jaminan sosial (Ath-Thayyar, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi ad-Dawlah
al-Islâmiyah, hlm. 139-144; Al-Ayid, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi
Bilâd al-Islâm, hlm. 96). Jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
tersebut, maka non-Muslim berhak untuk mengadukannya. Sebab, dalam hal ini
terdapat larangan berbuat zalim secara mutlak, baik terhadap kaum Muslim maupun
non-Muslim, serta adanya larangan menyakiti warga negara non-Muslim (ahludz
dzimmah). Rasulullah saw. bersabda:
أَلاَ
مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِداً، أَوْ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ
أخَذَ مِنْهُ شَيْئاً بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ، فَأنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
Ketahuilah
bahwa siapa saja yang menzalimi mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian),
mencela dia, membebani di atas kemampuannya, atau mengambil sesuatu dari dia
dengan paksa, maka saya yang akan mengalahkan dia dengan hujjah pada hari
kiamat (HR Abu Dawud).
Jika menyakiti mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian)
saja dilarang keras, apalagi menyakiti non-Muslim yang telah menjadi warga
negara. Karena itu, jika terjadi kezaliman atas warga negara non-Muslim (ahludz
dzimmah), atau ia mendapat perlakuan kurang baik dari penguasa, maka ia
berhak menyampaikan syakwâ (pengaduan), agar tidak terjadi
lagi kezaliman terhadap dirinya, dan pelakunya mendapatkan sanksi atas apa yang
telah dia perbuat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 101).
Dalam
hal ini, apapun bentuk syakwâ (pengaduan) yang disampaikan
non-Muslim harus didengar, baik ia sebagai pihak yang benar maupun salah. Abu
Bakar ra., misalnya, pernah menempeleng dengan keras wajah orang Yahudi bernama
Finhash, yang mengatakan perkataan penghinaan terhadap Allah SWT, bahwa dia sama
sekali tidak butuh Allah, sebab dirinya kaya, sementara Allah miskin karena
masih mencari pinjaman harta. Dalih perkataan lancang Finhash ini adalah firman
Allah SWT (yang artinya): Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak (TQS al-Baqarah [2]: 245).
Kemudian
Finhash mengadukan Abu Bakar ra. kepada Rasulullah saw. Rasulullah pun
mendengarkan syakwâ(pengaduan) Finhash ini. Namun, di depan Rasulullah
saw., Finhash laknatullâh ‘alaih membantah bahwa ia telah
mengatakan perkataan penghinaan terhadap Allah.
Semua
tahu, bahwa Abu Bakar adalah mu’âwin (pembantu) Rasulullah
saw. Artinya, Abu Bakar ra. adalah seorang penguasa, sementara Finhash adalah
seorang mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian). Namun
demikian, Rasululah saw. sangat memperhatikan dan mendengarkan pengaduan Yahudi
itu tentang Abu Bakar sekali pun ia sebagai pihak yang salah. Jika syakwâ (pengaduan) mu’ahid (orang
kafir yang terikat perjanjian) saja didengar dan diperhatian, tentu syakwâ (pengaduan)
yang disampaikan warga negara non-Muslim harus lebih didengar dan diperhatian
(An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 102).
Kesalahan Penerapan Hukum Islam
Terkait
kasus kesalahan penerapan hukum Islam, maka setiap warga negara, Muslim maupun
non-Muslim berhak menyampaikan syakwâ (pengaduan). Sehubungan
dengan ini, sebagian kaum Muslim telah mengadukan Muadz bin Jabal ra. kepada
Rasulullah saw. karena ia memanjangkan bacaan ketika shalat. Imam al-Bukhari
menuturkan riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. yang mengatakan: Seorang
laki-laki pergi menuju dua pancuran air. Hari sudah mulai gelap. Lalu ia
mendapati Muadz sedang shalat. Ia pun meninggalkan pancuran air itu dan pergi
menuju Muadz yang sedang shalat. Muadz membaca surah al-Baqarah atau an-Nisa’.
Kemudian laki-laki itu pergi—ia diberitahu bahwa Muadz sudah biasa melakukan
itu. Lalu ia pun mendatangi Nabi saw dan mengadukan Muadz kepada beliau.
Kemudian Nabi saw. bersabda:
يَا
مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَوْ أَفَاتِنٌ، ثَلاَثَ مِرَارٍ، فَلَوْلاَ صَلَّيْتَ
بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ، وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى،
فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَرَاءَكَ الْكَبِيرُ وَالضَّعِيفُ وَذُو الْحَاجَةِ
Wahai
Muadz, apakah engkau pengusir atau penyeru orang yang hendak shalat? Beliau
mengulanginya tiga kali. Mengapa Engkau tidak membaca “Sabbihisma Rabbika
(surat al-A’la)”, “Wasy syamsi wa dhuhâhâ (surat asy-syams)” dan “Wallayli idza
yaghsyâ (surat al-Lail)” saja ketika shalat. Sebab, mereka yang shalat di
belakangmu itu ada orang tua, yang sakit dan sedang berkeperluan.”
Karena Muadz seorang wali yang diangkat Rasulullah saw., maka ini
merupakan syakwâ (pengaduan) terkait kesalahan penerapan hukum
syariah yang dilakukan oleh seorang penguasa. Sebab, menurut hukum syariah,
seorang imam hendaknya meringankan bacaan shalat. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا
أَمَّ أَحَدُكُمُ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ
Apabila
salah seorang di antara kalian menjadi imam (shalat) orang banyak, maka
hendaklah ia meringankan (bacaannya) (HR
Muslim).
Kesalahan penerapan hukum syariah itu tidak hanya pada kasus shalat saja, namun
pada hukum-hukum syariah lainnya. Kesalahan penerapan hukum syariah dianggap
sebagai sebuah kezaliman sehingga mengadukannya adalah hak semua warga negara,
Muslim dan non-Muslim. Sebab, Rasulullah saw. bersabda:
وَإِنِّي
َلأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلَمِةٍ
Aku
sangat berharap akan berjumpa Allah kelak dan tidak ada seseorang pun yang
menuntutku karena kezaliman(HR
at-Tirmidzi).
Kata ahad[un] (seseorang) dalam hadis ini mencakup setiap
warga negara, Muslim dan non-Muslim. Sebab, beliau tidak bersabda: wa
lâ yathlubunî Muslim[un] (tidak ada seorang Muslim pun yang
menuntutku), melainkan beliau bersabda: wa laysa ahad[un] yathlubunî (tidak
ada seseorang pun yang menuntutku).
Maka
dari itu, dengan undang-undang ini, kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap
hak-hak rakyat, dan kesalahan dalam penerapan hukum syariah yang dilakukan oleh
penguasa, akan senantiasa terkontrol dan terkoreksi. Pada gilirannya, semua hak
dan kewajiban setiap warga negara, Muslim dan non-Muslim, akan berjalan
sebagaimana mestinya. Dengan begitu, kehidupan berkah di bawah naungan Khilafah
bukan lagi sekadar mimpi melainkan sebuah kenyataan. WalLâhu a’lam
bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Al-Ayid,
Prof. Dr. Sholeh bin Husain, Huqûqu Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm,
(Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyah), Cetakan IV, 2008.
Hizbut
Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah,
(Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Mahmud,
Ahmad, Ad-Dakwah ila al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I,
1995.
Al-Mas’ari,
Prof. Dr. Muhammad bin Abdullah, Muhâsabah al-Hukkâm, (Tanpa
Penerbit), Cetakan I, 1997.
An-Nabhani,
Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu,
Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai,
Asy-Syaikh Taqiyuddih, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz II,
(Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.
Ath-Thayyar,
Dr. Ali bin Abdurrohman, (Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyah), Cetakan II
(Revisi), 2006.